Landasan
Kultural Pendidikan
Pendidikan
selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu menjadi anggota
masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, dalam UU-RI No.
2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berakar pada kebudayaanbangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab
kebudayaan dapat dilestarikan/dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan
dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal
maupun secara formal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan
itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu
berlangsung. Dimaksudkan dengan kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia
berupa norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang
dipelajarin dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu.
Kebudayaan sebagai gagasan dan karya
manusia beserta hasil budi dan karya itu akan selalu terkait dengan pendidikan,
utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas tersebut dapat berwujud :
1)
Ideal
seperti ide, gagasan, nilai, dan sebagainya.
2)
Kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat, dan
3) Fisik yakni benda hasil karya manusia.
Kebudayaan
dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan melalui pendidikan. Baik
kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan
melalui proses pendidikan.
Sebagai
contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan
kepada anak-anak untuk mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan,
bagaimana mengatakannya, dan kepada siapa mengatakannya. Contoh lain, setiapa
masyaratkat mempunyai persamaan dan perbedaan dalam berpakaian. Dalam kaitan
dengan pakaian, anak harus mempelajari dari anggota masyarakat yang lain tentang
cara menggunakan pakaian tertentu dari dalam peristiwa apa pakaian tertentu
dapat dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan kemudian
menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak sebagai anggota
masyarakat. Oleh sebab itu, anak-anak harus diajarkan polapola tingkah laku
yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan kata
lain, fungsi pokok setiap sisitem pendidikan adalah untuk mengajarkan anak-anak
pola-pola tingkah laku yang essensial tersebut.
Cara-cara
untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah laku kepada generasi
baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya ada tiga cara umum
yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan formal. Cara
informal terjadi di dalam keluarga, dan nonformal dalam masyarakat yang
berkelanjutan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara
formal melibatkan lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan.
Pendidikan formal tersebut dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah
laku anak didik. Kalua masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka
miliki kepada generasi penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan.
Oleh
sebab itu, anggota masyarakat tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan
yang disesuaikan dengan kondisi baru sehingga terbentuklah pola tinkah laku,
nilai-nilai, dan norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, norma-norma dan nilai-nilai
baru ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga social yang lazim digunakan
sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan,
utamanya sekolah dan keluarga.
Pada
masyarakat primitive, transmisi kebubayaan dilakukan secar informal dan
nonformal, sedangkan pada masyarakat yanf telah maju transmisi kebudayaan
dilakukan secara informal, nonformal dan formal. Pemindahan kebudayaan secar
formal ini melalui lembaga-lembaga social, utamanya sekolah. Pada masyarakat
yang sudah maju, sekolah sebagai lembaga social mempunyai peranan penting sebab
pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransmisi kebudayaan kepada generasi
penerus, tetapi pendidikan juga berfungsi untuk mentransformasikan kebudayaan
agar sesuai dengan perkembangan dan tujuan zaman. Dengan kata lain, sekolah
secara seimbang melaksanakan fungsi ganda pendidikan, yakni sebgai proses
sosialisasi dan sebgai agen pembaruan. Perlu dikemukakan bahwa dalam bidang
pendidikan, kedua fungsi tersebut kadang-kadang dipertentangkan, antara
penganut pendidikan sebagai pelestarian (teaching
a conserving activity) dan penganut pendidikan sebagai pembaruan (teaching as a subversive activity). Yang
pertama mengutamakan sosialisasi, bahkan kalau perlu domestikasi, sedangkan
yang kedua mengutamakan pengembangan atau agen pembaruan.
Seperti
diketahui, pendidikan di Indonesia tidak memihak salah satu kutub pendapat
tersebut, akan tetapai mengutamakan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
antara aspek pelestarian nilai-nilai luhur social-kebudayaan dab aspek
pengenbangan agar tetap jaya. Hal itu semakin penting apabila diingat bahwa
kemajuan teknologi komunikasi telah menyebabkan datangnya pengaruh kebudayaan
dari luar semakin deras.
b.
Kebudayaan
Nasional sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Seperti telah dikemukakan, yang
dimaksud dengan sisidiknas adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia. (UU-RI No. 2/1989) Pasal 1 Ayat 2. Karena masyarakat
Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah masyarakat yang majemuk, maka
kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat disebut sebagai
kebudayaan Nusantara yang beragam.
Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima secara nasional
disebut kebudayaan nasional. Oleh karena itu, kebudayaan nasional haruslah
dipandang dalam latar perkembangan yanag dinamis seiring dengan semakin
kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan asa bhineka
tunggal ika.
Pada awal perkembangannya, suatu
kebudayaan terbentuk berkat kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya
dan kesengajaan manusia menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap
individu yang lahir selalu memasuki lingkungan kebudayaan dan lingkungan
alamiah itu, dan menghadapi dua system sekaligus yaitu system kebudayaan dan
system linmgkungan alam. Individu dalam masyarakat modern sangat dipengaruhi
oleh besar dan kompleksnya kehidupan masyarakat modern dan kecanggihan
kebudayaannya. Ini berarti bahwa individu hanya dapat hidup dalam masyarakat
atau kebudayaan modern, apabila ia mau dan mampu belajar terus menerus.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan
jalur sekolah dengan keragaman latar belakng social budaya di Indonesia adalah
dengan memberlakukan muatan local di dalam kurikulum sekolah, utamanya di
sekolah dasar (SD). Kebijakan ini bukan hal baru, karena gagasannya telah
berlaku sejak dulu, umpamanya dengan pengajaran bahasa daerah dan atau
penggunaan bahasa daerah di dalam proses belajar mengajar. Keragaman social
budaya tersebut terwujud dalam keragaman adat istiadat, tata cara, dan tata karma
pergaulan, kesenian, bahasa, dan sastra daerah, maupun kemahiran dan
keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah tertentu.
Keanekaragaman itu sejak awal kemerdekaan telah mencoraki kurikulum sekolah,
utamanya sekolah dasar, dengan berbagai variasi yakni mulai sebagai mata
pelajaran (umpama bahasa daerah) ataupun sebagai bagian dari bahan ajaran dan
atau cara penyampaiannya. Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik dari
setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhinekaan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka
pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia sebagai sisi
ketunggal ika-an.
Beberapa tahun terakhir ini, makin kuat
pendapat bahwa pendidikan seharusnya lebih diupayakan agar lebih menjamin adanya
rasa keterikatan antara peserta didik dengan lingkungannya. Peserta didik
diharapkan tidak hanya mengenal lingkungannya (alam, social, dan budaya) akan
tetapi juga mau dan mampu mengembangkannya. Oleh Karen aitu, sebagai contoh,
muatan local dalam kurikulum tidak hanya sekedar meneruskan minat akan
kemahiran yang ada di daerah tertentu, tetapi juga serentak
memperbaiki/meningkatkannya sesuai dengan perkembangan iptek/seni dan atau
kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kurikulum ikut memutakhirkan kemahiran
local (mengukir, melukis, menenun, menganyam, dan sebagainya) sehingga sesuai
dengan kemajuan zaman, dan serentak dengan itu, membuka peluang tersedianya
lapangan kerja bagi peserta didik yang bersangkutan (umpama bidang kerajinan)
dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di lingkungannya.
Sebagai
salah satu faktor yang ikut menentukan kelangsungan hidup suatu masyarakat
adalah kesanggupan dan kemampuan anggotanya untuk mendukung nilai-nilai budaya
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat
mempunyai peranan mewaris-kan, memelihara dan sekaligus sebagai agen
pembaharuan kebudayaan. Pendidikan dapat dikonsepkan sebagai proses budaya
manusia. Kegiatanya dapat berwujad sebagai upaya yang dipikirkan, dirasakan dan
dikehendaki manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan unsur dan peristiwa budaya.
Pendidikan melibatkan sekaligus kiat dan disiplin pengetahuan mempengaruhi
manusia belajar. Pendidikan merupakan proses budaya, yakni generasi manusia
berturut-turut mengambil peran sehingga menghasilkan peradaban masa lampau dan
mengambil peranan di masa kini dan mampu menciptakan peradaban di masa depan.
Dengan
kata lain pendidikan memiliki tiga peran, sebagai pewarisan, sebagai pemegang peran
dan sebagai pemberi kortribusi. Dengan demikian dapat dipahami pendidikan
sebagai aset untuk pemeliharaan masa lampau, penguatan individu dan masyarakat yang
sekarang serta sebagai penyiapan manusia berperan di masa datang. Pendidikan
sebagai proses upaya pemeliharaan dan peran dalam membangun peradaban dan
pendidikan tidak terbatas pada benda-benda yang tampak Seperti bangunan fisik,
melainkan meliputi: gagasan, perasaan dan kebiasaan, peran dan alam kehidupan
sekarang juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masa yang akan datang, karena
pemeliharaan peradaban manusia merupakan tugas tanpa akhir.
Analisis antropologi budaya dapat membantu
mengatasi problema-problema pendidikan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompak
minoritas dan budaya yang lain. Sudut tujuan antropologi sosial, menjelaskan
pendidikan dapat merupakan bentuk bimbingan formal terhadap perilaku anggota
masyarakat yang relatif baru ke dalam tradisi nenek moyang mereka melalui
berbagai model indoktrinasi yang berbeda antara masyarakat satu dengan yang
lainnya. Melalui proses indoktrinasi yang berlangsung terus-menerus timbul
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki budaya tertentuyang pada gilirannya
pula menampilkan bentuk pendidikan yang berbeda- beda. Pada hakikatnya manusia
sebagai makhluk budaya dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat.
Salah satu cara untuk memelihara kebudayaan adalah melalui pengajaran. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai penyampaian,pelestarian
dan sekaligus pengembangan kebudayaan.
A.
Kebudayaan
dan sekolah
Tradisi kebudayan menghambat
perkembangan dalam berkompetisi dengan kelompok lain. Sejalan dengan penelitian
Otto Klinerberg (1954) bahwa kegagalan kelompok minoritas umumnya bukan
disebabkan semata-mata oleh ras, atau suku namun disebabkan oleh budaya tradisi
mereka.
B.
Prasangka
dan pertenfangan di berbagai kelompok budaya
Pertentangan yang disebabkan adanya
berbagai kelompok budaya dari ras dapat berupa prasangka negatif di antara
sesama kelompok dan hal ini berpengaruh terhadap pendidikan.
C.
Stereotipe
Keefektifan dalam pengajaran timbul dan
siswa akan lebih terbimbing, serta kesegaran dan rasa takut berkurang jika guru
menunjukkan stereotipe yang menyenangkan.
D.
Faktor
budaya dalam proses pengajaran (culture factors in teaching)
Mengajar merupakan upaya
mengkomunikasikan secara jelas tentang nilai-nilai pengajaran. Dalam hal ini
banyak hal yang mempengaruhi, sperti: niiai-nilai budaya orang tua, penggunaan
bahasa, keadaan sosial yang dibawa anak dari lingkungan (tradisi) dan pengaruh
kelompok dominan. Keadaan ini mensyaratkan perhauaii, pemahaman dan penyesuaian
guru agar peran serta orang tua dalam kegiatan sekolah dapat tercipta.
E.
Pelatihan
budaya untuk pendidikan
Perlu dikembangkan kondisi sekolah yang
didalamnya terdapat pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas yang
sering menghadapi konfhk budaya antara guru, siswa dan orang tua. Kenyataan ini
menuntut adanya kepelatihan budaya bagi pendidik agar ia mampu menghubungkan
nilai-nilai budaya dengan pengajaran dan proses pengajaran.
F.
Masalah
kewibawaan merupakan ubahan (variabel) yang tidak dapat diabaikan
Penguasaan terbadap kewibawaan guru
lebih membantu siswa dalam penguasaan bahan-bahan pengajaran.
G.
Sub-kebudayaan
(sub-culture)
Perbedaan warna kulit dan kemiskinan
menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan. Karena kelompok-kelompok
tersebut saling menolak terhadap pelayanan sekolah. Hambatan ini dapat diatasi
melalui pendidikan orang tua, memadukan sub-culture di sekolah, mengadakan
penyesuaian tingkah laku di sekolah dan kurikulum sekolah wajib memperhatikan
latar belakang budaya siswa.
H.
Dinamika
kelompok sosialisasi
Sekolah harus mampu menghilangkan
adanya kelompok-kslompok minoritas dan membawanya ke arah perubahan melalui
proses sosialisasi.
Pendidikan
selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu menjadi anggota
masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, dalam UU-RI No.
2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berakar pada kebudayaanbangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab
kebudayaan dapat dilestarikan/dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan
dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal
maupun secara formal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan
itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu
berlangsung. Dimaksudkan dengan kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia
berupa norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang
dipelajarin dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu.
a.
Pengertian
tentang Landasan Kultural
Kebudayaan sebagai gagasan dan karya
manusia beserta hasil budi dan karya itu akan selalu terkait dengan pendidikan,
utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas tersebut dapat berwujud :
1)
Ideal
seperti ide, gagasan, nilai, dan sebagainya.
2)
Kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat, dan
3) Fisik yakni benda hasil karya manusia.
Kebudayaan
dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan melalui pendidikan. Baik
kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan
melalui proses pendidikan.
Sebagai
contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan
kepada anak-anak untuk mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan,
bagaimana mengatakannya, dan kepada siapa mengatakannya. Contoh lain, setiapa
masyaratkat mempunyai persamaan dan perbedaan dalam berpakaian. Dalam kaitan
dengan pakaian, anak harus mempelajari dari anggota masyarakat yang lain tentang
cara menggunakan pakaian tertentu dari dalam peristiwa apa pakaian tertentu
dapat dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan kemudian
menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak sebagai anggota
masyarakat. Oleh sebab itu, anak-anak harus diajarkan polapola tingkah laku
yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan kata
lain, fungsi pokok setiap sisitem pendidikan adalah untuk mengajarkan anak-anak
pola-pola tingkah laku yang essensial tersebut.
Cara-cara
untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah laku kepada generasi
baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya ada tiga cara umum
yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan formal. Cara
informal terjadi di dalam keluarga, dan nonformal dalam masyarakat yang
berkelanjutan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara
formal melibatkan lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan.
Pendidikan formal tersebut dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah
laku anak didik. Kalua masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka
miliki kepada generasi penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan.
Oleh
sebab itu, anggota masyarakat tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan
yang disesuaikan dengan kondisi baru sehingga terbentuklah pola tinkah laku,
nilai-nilai, dan norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, norma-norma dan nilai-nilai
baru ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga social yang lazim digunakan
sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan,
utamanya sekolah dan keluarga.
Pada
masyarakat primitive, transmisi kebubayaan dilakukan secar informal dan
nonformal, sedangkan pada masyarakat yanf telah maju transmisi kebudayaan
dilakukan secara informal, nonformal dan formal. Pemindahan kebudayaan secar
formal ini melalui lembaga-lembaga social, utamanya sekolah. Pada masyarakat
yang sudah maju, sekolah sebagai lembaga social mempunyai peranan penting sebab
pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransmisi kebudayaan kepada generasi
penerus, tetapi pendidikan juga berfungsi untuk mentransformasikan kebudayaan
agar sesuai dengan perkembangan dan tujuan zaman. Dengan kata lain, sekolah
secara seimbang melaksanakan fungsi ganda pendidikan, yakni sebgai proses
sosialisasi dan sebgai agen pembaruan. Perlu dikemukakan bahwa dalam bidang
pendidikan, kedua fungsi tersebut kadang-kadang dipertentangkan, antara
penganut pendidikan sebagai pelestarian (teaching
a conserving activity) dan penganut pendidikan sebagai pembaruan (teaching as a subversive activity). Yang
pertama mengutamakan sosialisasi, bahkan kalau perlu domestikasi, sedangkan
yang kedua mengutamakan pengembangan atau agen pembaruan.
Seperti
diketahui, pendidikan di Indonesia tidak memihak salah satu kutub pendapat
tersebut, akan tetapai mengutamakan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
antara aspek pelestarian nilai-nilai luhur social-kebudayaan dab aspek
pengenbangan agar tetap jaya. Hal itu semakin penting apabila diingat bahwa
kemajuan teknologi komunikasi telah menyebabkan datangnya pengaruh kebudayaan
dari luar semakin deras.
b.
Kebudayaan
Nasional sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Seperti telah dikemukakan, yang
dimaksud dengan sisidiknas adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia. (UU-RI No. 2/1989) Pasal 1 Ayat 2. Karena masyarakat
Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah masyarakat yang majemuk, maka
kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat disebut sebagai
kebudayaan Nusantara yang beragam.
Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima secara nasional
disebut kebudayaan nasional. Oleh karena itu, kebudayaan nasional haruslah
dipandang dalam latar perkembangan yanag dinamis seiring dengan semakin
kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan asa bhineka
tunggal ika.
Pada awal perkembangannya, suatu
kebudayaan terbentuk berkat kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya
dan kesengajaan manusia menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap
individu yang lahir selalu memasuki lingkungan kebudayaan dan lingkungan
alamiah itu, dan menghadapi dua system sekaligus yaitu system kebudayaan dan
system linmgkungan alam. Individu dalam masyarakat modern sangat dipengaruhi
oleh besar dan kompleksnya kehidupan masyarakat modern dan kecanggihan
kebudayaannya. Ini berarti bahwa individu hanya dapat hidup dalam masyarakat
atau kebudayaan modern, apabila ia mau dan mampu belajar terus menerus.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan
jalur sekolah dengan keragaman latar belakng social budaya di Indonesia adalah
dengan memberlakukan muatan local di dalam kurikulum sekolah, utamanya di
sekolah dasar (SD). Kebijakan ini bukan hal baru, karena gagasannya telah
berlaku sejak dulu, umpamanya dengan pengajaran bahasa daerah dan atau
penggunaan bahasa daerah di dalam proses belajar mengajar. Keragaman social
budaya tersebut terwujud dalam keragaman adat istiadat, tata cara, dan tata karma
pergaulan, kesenian, bahasa, dan sastra daerah, maupun kemahiran dan
keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah tertentu.
Keanekaragaman itu sejak awal kemerdekaan telah mencoraki kurikulum sekolah,
utamanya sekolah dasar, dengan berbagai variasi yakni mulai sebagai mata
pelajaran (umpama bahasa daerah) ataupun sebagai bagian dari bahan ajaran dan
atau cara penyampaiannya. Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik dari
setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhinekaan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka
pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia sebagai sisi
ketunggal ika-an.
Beberapa tahun terakhir ini, makin kuat
pendapat bahwa pendidikan seharusnya lebih diupayakan agar lebih menjamin adanya
rasa keterikatan antara peserta didik dengan lingkungannya. Peserta didik
diharapkan tidak hanya mengenal lingkungannya (alam, social, dan budaya) akan
tetapi juga mau dan mampu mengembangkannya. Oleh Karen aitu, sebagai contoh,
muatan local dalam kurikulum tidak hanya sekedar meneruskan minat akan
kemahiran yang ada di daerah tertentu, tetapi juga serentak
memperbaiki/meningkatkannya sesuai dengan perkembangan iptek/seni dan atau
kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kurikulum ikut memutakhirkan kemahiran
local (mengukir, melukis, menenun, menganyam, dan sebagainya) sehingga sesuai
dengan kemajuan zaman, dan serentak dengan itu, membuka peluang tersedianya
lapangan kerja bagi peserta didik yang bersangkutan (umpama bidang kerajinan)
dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di lingkungannya.
Sebagai
salah satu faktor yang ikut menentukan kelangsungan hidup suatu masyarakat
adalah kesanggupan dan kemampuan anggotanya untuk mendukung nilai-nilai budaya
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat
mempunyai peranan mewaris-kan, memelihara dan sekaligus sebagai agen
pembaharuan kebudayaan. Pendidikan dapat dikonsepkan sebagai proses budaya
manusia. Kegiatanya dapat berwujad sebagai upaya yang dipikirkan, dirasakan dan
dikehendaki manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan unsur dan peristiwa budaya.
Pendidikan melibatkan sekaligus kiat dan disiplin pengetahuan mempengaruhi
manusia belajar. Pendidikan merupakan proses budaya, yakni generasi manusia
berturut-turut mengambil peran sehingga menghasilkan peradaban masa lampau dan
mengambil peranan di masa kini dan mampu menciptakan peradaban di masa depan.
Dengan
kata lain pendidikan memiliki tiga peran, sebagai pewarisan, sebagai pemegang peran
dan sebagai pemberi kortribusi. Dengan demikian dapat dipahami pendidikan
sebagai aset untuk pemeliharaan masa lampau, penguatan individu dan masyarakat yang
sekarang serta sebagai penyiapan manusia berperan di masa datang. Pendidikan
sebagai proses upaya pemeliharaan dan peran dalam membangun peradaban dan
pendidikan tidak terbatas pada benda-benda yang tampak Seperti bangunan fisik,
melainkan meliputi: gagasan, perasaan dan kebiasaan, peran dan alam kehidupan
sekarang juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masa yang akan datang, karena
pemeliharaan peradaban manusia merupakan tugas tanpa akhir.
Analisis antropologi budaya dapat membantu
mengatasi problema-problema pendidikan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompak
minoritas dan budaya yang lain. Sudut tujuan antropologi sosial, menjelaskan
pendidikan dapat merupakan bentuk bimbingan formal terhadap perilaku anggota
masyarakat yang relatif baru ke dalam tradisi nenek moyang mereka melalui
berbagai model indoktrinasi yang berbeda antara masyarakat satu dengan yang
lainnya. Melalui proses indoktrinasi yang berlangsung terus-menerus timbul
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki budaya tertentuyang pada gilirannya
pula menampilkan bentuk pendidikan yang berbeda- beda. Pada hakikatnya manusia
sebagai makhluk budaya dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat.
Salah satu cara untuk memelihara kebudayaan adalah melalui pengajaran. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai penyampaian,pelestarian
dan sekaligus pengembangan kebudayaan.
A.
Kebudayaan
dan sekolah
Tradisi kebudayan menghambat
perkembangan dalam berkompetisi dengan kelompok lain. Sejalan dengan penelitian
Otto Klinerberg (1954) bahwa kegagalan kelompok minoritas umumnya bukan
disebabkan semata-mata oleh ras, atau suku namun disebabkan oleh budaya tradisi
mereka.
B.
Prasangka
dan pertenfangan di berbagai kelompok budaya
Pertentangan yang disebabkan adanya
berbagai kelompok budaya dari ras dapat berupa prasangka negatif di antara
sesama kelompok dan hal ini berpengaruh terhadap pendidikan.
C.
Stereotipe
Keefektifan dalam pengajaran timbul dan
siswa akan lebih terbimbing, serta kesegaran dan rasa takut berkurang jika guru
menunjukkan stereotipe yang menyenangkan.
D.
Faktor
budaya dalam proses pengajaran (culture factors in teaching)
Mengajar merupakan upaya
mengkomunikasikan secara jelas tentang nilai-nilai pengajaran. Dalam hal ini
banyak hal yang mempengaruhi, sperti: niiai-nilai budaya orang tua, penggunaan
bahasa, keadaan sosial yang dibawa anak dari lingkungan (tradisi) dan pengaruh
kelompok dominan. Keadaan ini mensyaratkan perhauaii, pemahaman dan penyesuaian
guru agar peran serta orang tua dalam kegiatan sekolah dapat tercipta.
E.
Pelatihan
budaya untuk pendidikan
Perlu dikembangkan kondisi sekolah yang
didalamnya terdapat pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas yang
sering menghadapi konfhk budaya antara guru, siswa dan orang tua. Kenyataan ini
menuntut adanya kepelatihan budaya bagi pendidik agar ia mampu menghubungkan
nilai-nilai budaya dengan pengajaran dan proses pengajaran.
F.
Masalah
kewibawaan merupakan ubahan (variabel) yang tidak dapat diabaikan
Penguasaan terbadap kewibawaan guru
lebih membantu siswa dalam penguasaan bahan-bahan pengajaran.
G.
Sub-kebudayaan
(sub-culture)
Perbedaan warna kulit dan kemiskinan
menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan. Karena kelompok-kelompok
tersebut saling menolak terhadap pelayanan sekolah. Hambatan ini dapat diatasi
melalui pendidikan orang tua, memadukan sub-culture di sekolah, mengadakan
penyesuaian tingkah laku di sekolah dan kurikulum sekolah wajib memperhatikan
latar belakang budaya siswa.
H.
Dinamika
kelompok sosialisasi
Sekolah harus mampu menghilangkan
adanya kelompok-kslompok minoritas dan membawanya ke arah perubahan melalui
proses sosialisasi.
maaf kak, sumbernya dari mana ya kak?
BalasHapus