MAKALAH
PERKEMBANGAN PESERTA
DIDIK
“Perkembangan Moral, Nilai, dan
Agama Pada Masa Remaja”
Halaman
Kata
Pengantar………………………………………………………………………….
Daftar
Isi………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..
BAB II REMAJA…………………………………….....................................
BAB III PERKEMBANGAN
MORAL…………………………………….
3.1 Pengertian……………………………………………………..
3.2 Faktor-faktor
yang mempengaruhi…………………………….
3.3 Karakteristik
perkembangan………………………………….
3.4 Upaya-upaya
sekolah dalam rangka mengembangkannya……
BAB IV PERKEMBANGAN
NILAI………………………………………
4.1 Pengertian……………………………………………………….
4.2 Faktor-faktor
yang mempengaruhi……………………………
4.3 Karakteristik
perkembangan
4.4 Upaya-upaya
sekolah dalam rangka mengembangkannya……
BAB V PERKEMBANGAN
AGAMA……………………………………
5.1 Pengertian……………………………………………………..
5.2 Faktor-faktor
yang mempengaruhi……………………………
5.3 Karakteristik
perkembangan………………………………….
5.4 Upaya-upaya
sekolah dalam rangka mengembangkannya……
Daftar
Pustaka……………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
Masa
remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai
fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan
nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai
membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang
berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang,
keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku,
sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.
Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan
lebih banyak alternatif lainnya.
Secara
kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan
membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan
kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di
luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa
ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain.
Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia
terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan”
remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan
mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan
nilai-nilai tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari
hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan
memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja
tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua
dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru”
memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan
oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
BAB II
REMAJA
Kata
“remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau
to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan
definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan
remaja sebagai periode. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian
remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui
pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut
Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut
Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11
hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17
tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock
karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan
yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia
& Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara
kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat
bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan
yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan
dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi
perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak
masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock,
1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis
misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa
antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan
kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak
(Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Remaja:
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa
Yang
dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang
kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara
kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif,
misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan
Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang
berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001),
yaitu:
(1) perkembangan fisik,
(2)
perkembangan kognitif, dan
(3)
perkembangan kepribadian dan sosial.
Aspek-aspek
perkembangan pada masa remaja
1)
Perkembangan
fisik
Yang
dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001).
Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh,
pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya
adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan.
Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan
kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
2)
Perkembangan
Kognitif
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia
karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja
secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan
tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja
sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding
ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja
tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu
mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan
kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar,
berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan
bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari
struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk
eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut
tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia
& Olds, 2001).
Tahap
formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara
abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta
pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal
remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu
menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan
seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu
memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja
berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang
masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat
memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada
masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan
konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat
membahayakan dirinya.
Pada
tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana
mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan.
Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari
kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai
mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu
perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah
satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya
ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme
(Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di
sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”
(Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia
& Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme
yang dikenal dengan istilah personal fabel.
Personal
fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai
diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti
cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan.
Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan
memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa
menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds
(2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal
fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh
hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri
[self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis
terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya
tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang
remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya
[saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs]
berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap
bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.
Pendapat
Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan
bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri,
merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko
yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa
remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa
mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan
mengalami bahaya itu.
Beyth-Marom,
dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa
memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya
derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability.
Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan
mempersepsi diri invulnerable menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang
dewasa adalah sama.
3)
Perkembangan
kepribadian dan sosial
Yang
dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu
berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan
perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain
(Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa
remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian
identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
Perkembangan
sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang
tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak,
remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah,
ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds,
2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah
besar.
Pada
diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk
menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku
banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok
teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang
remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et
al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds
(2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi
utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya
hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai
bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan
sebagainya (Conger, 1991).
2.1 Ciri-ciri Masa Remaja
Masa
remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang
cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi
selama masa remaja.
1.
Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang
dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini
merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa
remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa
remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa
ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka
diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih
mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan
terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir
yang duduk di awal-awal masa kuliah.
2.
Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual.
Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan
mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan
internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun
perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh
sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.
Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.
Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa
kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga
dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka
remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang
lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja
tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,
tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4.
Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak
menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.
Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut
akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan
kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
2.2 Tugas perkembangan remaja
Tugas
perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
* memperluas hubungan antara pribadi dan
berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun
perempuan
*
memperoleh peranan sosial
*
menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
*
memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
*
mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
*
memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
*
mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
*
membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
Erikson
(1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama
remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan
krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas
perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja
dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan
peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk
menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang
pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan
menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.
BAB III
PERKEMBANGAN MORAL
PADA MASA REMAJA
3.1 Pengertian
Istilah
moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai
moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara
ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain,
serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan
moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh
nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar
untuk mengenal nlai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting,
terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak , diantaranya sebagai berikut :
a.
Konsisten
dalam mendidik anak
Ayah
dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
pada waktu lain.
b.
Sikap
orangtua dalam keluarga
Secara
tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses
peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan
sikap disiplin semu oada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap
masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang
mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua
adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
Interaksi
dalam keluarga turut mempengaruhi perkembangan moral anak
c.
Penghayatan
dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua
merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious
(agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
d.
Sikap
konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang
tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka
harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila
orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang
sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan
perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan
menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak
melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku
seperti orangtuanya.
3.3 Karakteristik Perkembangan
Karakteristik yang menonjol dalam
perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan
kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai
mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat
hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya
terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang
menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,1988).
Perkembangan pemikiran moral remaja
dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan
dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum
mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi (Monks, 1988). Perkembangan
moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan moral dari
Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja
seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap
pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin
jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak
tergantung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.
Melalui
pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman sebaya atau
orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai
moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan
kedisiplinan.
Pada
masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai
baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan
fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian
positif dari orang lain tentang perbuatannya).
Dikaitkan
dengan perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, menurut Kusdwirarti Setiono
(Fuad Noshori, Suara Pembaharuan, 7
Maret 1997) pada umunya remaja berada dalam tingkatan konvensional, atau berada
dalam tahap ketiga (berprilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok),
dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peratutan yang berlaku dan
diyakininya).
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Kusmara (Mahasiswa PPB FIP IKIP Bandung)
terhadap siswa kelas II SMA Negeri 22 Bandung pada tahun 1995 ditemukan bahwa
tingkatan moral mereka itu bersifat menyebar, yaitu pada tingkat
pra-konvensional (14%), konvensional (38%), dan pasca-konvensional (48%).
Jumlah para siswa yang menjadi responden penelitiannya sebanyak 120 orang.
Dengan
masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau
konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang
melakukan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindak
criminal, meminum minuman keras, dan hubungan seks di luar nikah.
Remaja
berprestasi dan tawuran adalah dua hal berbeda yang merupakan cerminan moral
yang dianut remaja.
Keragaman
tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang beragam juga. Salah
satu factor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah
orangtua. Manurut Adamm dan Gullotta (183: 172-173) terdapat beberapa hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi nilai remaja, yaitu
sebagai berikut :
1.
Terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua (Haan, Langer & Kohlberg, 1976).
2.
Ibu-ibu remaja yang tidak nakal
mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu
yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi
dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal (Hudgins &
Prentice, 1973).
3.
Terdapat dua factor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak
atau remaja , yaitu :
a) Orangtua
yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai
berbagai isu, dan
b) Orangtua
yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif (Parikh, 1980).
3.4 Upaya-upaya Sekolah Dalam
Rangka Mengembangkannya
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program
bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu
mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual,
intelektual, emosional, maupun social.
Upaya
sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan baik
apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat atau
efektif, baik menyangkut aspek menejemennya maupun profesionalisme para
personelnya.
Masa
remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengemnbangkan dan memelihara identitas dirinya. Dalam proses
perkembangan independensi sebagai antisipasi mendekati masa dewasa yang matang,
remaja :
1. Berusaha
untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan
dirinya.
2. Meneliti
dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa
yang dia inginkan.
3. Memperhatikan
etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya.
4. Mengembangkan
sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.
BAB IV
PERKEMBANGAN NILAI
PADA MASA REMAJA
4.1 Pengertian
Menurut
Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,
misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh
Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan
panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam
situassi social tertentu.
Jadi,
nilai itu merupakan :
1.
Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan
mendorong orang untuk mewujudkannya.
2.
Produk social yang diterima sebagai
milik bersama dengan kelompoknya.
3.
Sebagai standar konseptual yang relative
stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai
dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger
menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :
1.
Nilai
teori atau nilai keilmuan
Adalah
nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.
2.
Nilai
ekonomi
Adalah
nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau
financial.
3.
Nilai
social atau solidaritas
Tidak
memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat
melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada
dirinya.
4.
Nilai
agama
Atas
dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa
berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama.
5.
Nilai
seni
Atas
dasar pertimbangan rasa keindahan atau
rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
6.
Nilai
Politik
Atas
dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Remaja sebagai
individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang
dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebt dapat dipengaruhi oleh posisi
kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai
yang dianutnya akan berpengaruh terhadap prilaku remaja tersebut.
Nilai-nilai
kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja
tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila misalnya nilai-nilai keagamaan,
nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai
etik, dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.
Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila contohnya :
· Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban.
· Mengembangkan
sikap tenggang rasa
· Tidak
semena-mena terhadap orang lain.
4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Nilai
adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik
atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat
kebiasaan dan sopan santun (sutikna, 1988:5).
Beberapa
factor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah sebagai
berikut :
1. Diri Sendiri
Setiap
orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang
tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah
makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku
yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu
yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap
normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam
tingkah laku. Misalnya : nilai kesopanan dan kesedrhanaan, orang yang selalu
bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga dapat
membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai
perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru
kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam
masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa yang mereka
yakini pun adalah benar.
2. Teman/Orang Terdekat
Pengaruh
dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang
terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hamper sama satu sama
lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan
penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu
paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan
mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan
didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk
sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut
tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita
melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat
kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam
melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang
akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya
dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai
dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada
diri remaja tersebut.
3. Pergaulan
Pergaulan
yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula
dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut
seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai
yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan.
Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai
yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini
mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang
lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai
positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.
Pergaulan
pada masa remaja turut menentukan nilai yang dianutnya.
Pergaulan
menjadi hal yang penting pada masa remaja. Pada saat itu pergaulan menentukan
sikap/tingkah laku dari nilai yang dan seseorang. Pergaulan yang baik akan
menciptakan nilai yang baik dan sebaliknya. Remaja merupakan masa transisi dari
masa kanak-kanak yang sangat rawan dalam penentuan nilai. Ditekankan sekali
lagi bahwa pada masa remaja, seseorang lebih sering berinteraksi dengan
temannya dalam bentuk pergaulan disbanding dengan keluarganya.
4. Teknologi
Pengaruh
dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya
suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar
maupun hiburan. Contoh : internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai
informasi yang dapat diakses secara langsung.
Remaja
dan internet
Nilai
positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka
butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki
nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja.
Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat
rentan terhadap informs sperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara
matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti
pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.
5. Lingkungan / Masyarakat
Kenyamanan
dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai
individu. Remaja yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai berteman
dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang
mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik. Bagi remaja
hal ini akan berguna untuk mewujudkan rasa percaya diri dan bersosialisasi yang
baik kepada masyarakat.
·
Identifikasi dengan orang-orang yang
dianggapnya sebagai model. Maksudnya mengikuti sikap dan prilaku yang
dianggapnya sebagai idola.
·
Hubungan anak dengan orangtuanya.
·
Adanya control dari masyarakat yang
mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.
·
Unsur Lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu.
·
Aktivitas-aktivitas anak remaja yang
diperankannya.
4.3 Karakteristik Perkembangan
Karena
masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976; Adi,
1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya
tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono,
1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan
imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha
mengembangkannya sendiri.
4.4 Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya
Nilai
adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu. Nilai dapat
diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan
sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna,
1988:5).
Dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah faktor
yang paling penting bagi perkembangan nilai, remaja yang seiring dengan
pematangan kepribadian remaja tersebut. Nilai bersifat abstrak, dalam arti
tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap adalah objek yang
memiliki nilai. Meskipun abstrak, nilai merupakan suatu realitas, sesuatu yang
ada dan dibutuhkan manusia. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang
menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan
kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan
selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan
yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih
dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk
sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Kondisi
psikologis remaja mengalami ketidakstabilan. Dalam keadaan seperti itu, mereka
perlu dibimbing untuk mengenal nilai-nilai dalam kehidupan 3 yang tidak
terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, tetapi juga nilai-nilai
keagamaan, keadilan, estetik dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk
sesuai dengan perkembangan remaja.
Ketika anak berada dalam masa perkembangan,
pembentukan moralnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan
keluarga, dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai sederhana seperti kesopanan
terhadap ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas pada usia
remaja, dia akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui
kejadian-kejadian di sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi
peristiwa yang dialaminya sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan
mana yang tidak baik untuk dilakukan
Upaya
membantu remaja menemukan identitas diri:
a.
Berilah informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa
b. Membantu
siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya (melalui guru
konseling)
c. Bersikap
toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya: mendiskusikan
tentang tatakrama dlm berpakaian
d. Memberi umpan balik yg realistik
tentang dirinya. Caranya: berdiskusi dg siswa, member contoh orang lain yg sukses
dalam hidup.
Menurut
Kohlberg ;
1.
Anak menganggap baik dan buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya berupa
kepatuhan dan hukuman atas kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Misalnya,
jika anak tidak mau belajar maka dia tidak akan diijinkan untuk bermain dengan
temannya.
2.
Anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya
atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian
dapat dipandang dari berbagai sisi yaitu sisi manfaat dan kerugiannya.
3.
Anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.
4.
Anak merasakan bahwa perbuatan baik yang diperlihatkan bukan hanya agar dapat
diterima lingkungan, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan
aturan atau norma sosial, contohnya seorang remaja yang mulai belajar
menghormati orang yang lebih tua dengan bersikap ramah dan santun
5.
Remaja menyadari adanya hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan
sosial melalui kata hati yang dirasakannya. Maksudnya, jika dia menjalankan
kewajibannya sebagai anggota masyarakat maka lingkungan aka memberikan
perlindungan dan rasa nyaman padanya.
6,
(Prinsip Universal), remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja
melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin
sendiri, menjadikan penilaian moral sebagai nilai-nilaipribadi yang tercermin
pada tingkah lakunya.
Mengenai
peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322)
mengemukakan bahwa sekolah merupakan factor penentu bagi perkembangan
kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara
berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi
orangtua. Ada beberapa alassan, mengapa sekolah memainkan peranan penting yang
berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;
a) Siswa
harus hadir disekolah
b) Sekolah
memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan
‘konsep dirinya”.
c) Anak-anak
banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah
d) Sekolah
member kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses
e) Sekolah
member kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya
secara realistic.
BAB V
PERKEMBANGAN AGAMA
PADA MASA
REMAJA
5.1 Pengertian
Masa remaja adalah masa
bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangan satu sama
lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat
dalam diri remaja,,seperti ketidakstabilan perasaan remaja kepada Tuhan/Agama.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adams dan Gullotta (1983), agama memberikan
sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan
mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini, agama memberikan
perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi
dirinya.
Fitrah beragama ini merupakan
disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk
berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama remaja
sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Jiwa beragama atau
kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan
keimanan kepada Allah yang direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya.
Kebutuhan remaja akan Allah
kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam keadaan tenang, aman, dan
tentram. Sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila remaja dalam keadaan
gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika merasa berdosa.
Jadi,,kesimpulannya,,perasaan remaja
pada agama adalah ambivalensi.
Kadang-kadang sangat cinta dan percaya pada Tuhan, tetapi sering pula berubah
menjadi acuh tak acuh dan menentang (Zakiyah
Darajat, 2003:96-96 dan Sururin, 2002:70).
5.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Tidak sedikit remaja
yang bimbang dan ragu dengan agama yang diterimanya,,W. Sturbuck
meneliti mahasiswa Middle Burg College. Dari 142 remaja yang berusia 11-26
tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan tentang:
a) Ajaran agama
yang mereka terima.
b) Cara
penerapan ajaran agama.
c) Keadaan
lembaga-lembaga keagamaan.
d) Para pemuka
agama
Menurut
analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:
1. Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah
tafsir terhadap ajaran agama.
Ø Bagi
individu yang memiliki kepribadian yang introvert,
ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka
akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha
Penyayangnya Tuhan.
Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul,,maka mereka
akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang
Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert
walau sebelumnya dia taat beragama.
Ø Untuk jenis
kelamin
Wanita yang
cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan
pada laki-laki cepat matang.
2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya,,terdapat banyak
organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu
mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga
melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak
sepenuhnya menuruti tuntutan agama”.
3. Pernyataan Kebutuhan Agama
Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah
ada),, namun disisi lain,,manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan
ingin tahu).
Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag
normal. Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan
munculnya keraguan pada ajaran agama?
Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk
mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat
perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah
dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.
4. Kebiasaan
Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya
akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.
Kebiasaan mengaji untuk menanamkan nilai-nilai agama
5. Pendidikan
Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar
akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung
ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk
menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.
6. Percampuran Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan yang ada
ditengah-tengah masyarakat,,kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan
yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan
unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama
dengan mistik.
Penyebab keraguan remaja dalam
bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas,,adalah penyebab keraguan
yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama
bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini
disebabkan oleh:
a. Kepercayaan
Yaitu:
Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti
ini berpeluang pada remaja agama Kristen,,yaitu: tentang ke-Tuhanan yang
Trinitas.
b. Tempat Suci
Yaitu:
keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.
c. Alat Perlengkapan Agama
Misalnya:
Fungsi salib pada ajaran agama kristen
d. Fungsi
dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan
Misalnya:
Fungsi pendeta sebagai penghapus dosa
e. Pemuka
agama, biarawan dan biarawati
f. Perbedaan
aliran dalam keagamaan
Keraguan yang dialami remaja dalam
bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu “Remaja
akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta
antara yang benar dan salah”.
Jenis konflik yang memungkinkan dialami remaja:
a) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
b) Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau
antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan.
c) Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau
sekuler.
d) Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan
kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.
Jadi,
v Tingkat
keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan
mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam
dirinya.
v Dalam upaya
mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer
groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan
mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama (Jalaluddin, 2002:78-81)
Faktor lain
yang mempengaruhi adalah,,adanya motivasi dari dalam diri remaja itu sendiri.
Menurut Yahya Jaya,,motivasi beragama adalah: Usaha yang ada dalam diri manusia
yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu
atau usaha yang menyebabkan seseorang beragama.
Menurut Nico
Syukur, Manusia termotivasi untuk beragama atau melakukan tindak keagamaan
dalam 4 hal:
1. Didorng oleh keinginan untuk mengatasi frustasi
dalam kehidupan, baik:
v Frustasi
karena kesukaran alam
v Frustasi
karena social
v Frustasi
karena moral
v Frustasi
karena kematian
2. Didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan
dan tata tertib masyarakat
3. Didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu atau intelek
ingin tahu manusia.
4. Didorong oleh keinginan menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi
ketakutan.
5.3 Karakteristik Perkembangan
Apakah
remaja memikirkan Tuhan sama dengan cara berpikir anak ? Apakah perkembangan
intelektual mempengaruhi perkembangan terhadap Tuhan atau agama? Karena
pandangan terhadap Tuhan atau agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan
berpikir, maka pemikiran remaja tentang Tuhan berbeda dengan pemikiran anak.
Kemampuan
berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan
keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan
sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang. Berkembangnya kesadaran atau
keyakinan beragama, seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau
mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam kehidupan, seperti pertanyaan
“Apakah Tuhan Maha Kuasa, mengapa masih terjadi penderitaan dan kejahatan di
dunia ini?”
Untuk memperoleh kesadaran beragama
remaja ini, dapat disimak dalam uraian berikut :
1.
Masa
Remaja Awal (sekitar usia 13-16 tahun)
Pada masa ini terjadi
perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan
emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh
pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan . Kepercayaan kepada
Tuhan kadang-kadang sangat kuat, kan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang
yang terlihat pada cara beribadah yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang
malas. Penghayatan rohaninya cenderung skeptic (was-was) sehingga muncul
keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (misalnya
ibadah sholat) yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan alam
keagamaan ini mungkin muncul, dikarenakan oleh factor internal maupun
eksternal. Faktor internal yang berkaitan dengan matangnya organ seks, yang
mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun disisi lain ia tahu
bahwa perbuatannya itu dilarang agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada
diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap
independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga
( orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami da mendekatinya
secara baik, bahkan bersikap keras, maka sikap itu akan muncul dala bentuk
tingkah laku negative (negativisme), seperti membandel, oposisi, menentang atau
menyendiri, dan acuh tak acuh.
Apabila remaja kurang
mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kuarang
harmonis, orangtua yang kurang memberikan kasih saying dan berteman dengan
kelomopok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi diatas
akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik
atau asusila, seperti pergaulan bebas (free
sex), minum-minuman keras, mengisap ganja dan menjadi troublemaker (pengganggu
ketertiban/pembuat keonaran) dalam masyarakat.
2.
Masa
Remaja akhir ( 17-21 tahun)
Secara psikologis, masa
ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan pemikirannya
mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan
diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama
sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya diantaranya ada yang shalih
dan ada yang tidak shalih. Pengertian ini memungkinkan dia untuk tidak
terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku beragama, namun tidak melaksanakan
ajaran agama atau perilakunya bertentangan dengan nilai agama.
Salah satu tugas
perkembangan yang diukur adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu ;
1. Mengembangkan
pemahaman agama
2. Meyakini
agama sebagai pedoman hidup
3. Meyakini
bahwa setiap perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Tuhan
4. Meyakini
kehidupan akhirat
5. Meyakini
bahwa Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengampun
6. Melaksanakan
ibadah
7. Mempelajari
kitab suci
8. Berdoa
kepada Tuhan
9. Menghindarkan
diri dari perbuatan yang dilarang agama
10. Menghormati
kedua orangtua dan orang lain
11. Bersabar
dan bersyukur
5.4 Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka
Mengembangkannya
5.4.1 Pendidikan Agama di Sekolah dan Pembinaan Mental Remaja
Pada usia
remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth,
kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul,
kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti
uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi
pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi
mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan
yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari
kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah
terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang
lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang
memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu
mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall, “ngeceng”, pacaran dan hal-hal lain meski
banyak juga remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid,
berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus
keterampilan.
Cara seorang guru
mengajar turut mempengaruhi pemahaman yang diterima anak/remaja.
Jawaban dari
permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan
sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan
dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai
referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam
mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having
religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive
commitment dan driving integrating motive, yang
mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan
ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya
atau malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain
sebagainya.
Satu hal
penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah
ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu
diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan
sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan
remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja
mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus
senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta
didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran
agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem
pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar
(karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti
dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan
kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak
peserta didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka
penghayatan makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam
kehidupan masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut
merasakan penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya
menanamkan rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar
atau mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang
terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas
semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan
masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut
menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja.
Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta
generasi muda (remaja) yang berkualitas.
5.4.2 Upaya-upaya
Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya
Pendidikan dimanapun dan
kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian
anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam
pendidikan moral dan pembinaan mental. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk
dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di
sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika
dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan
gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi,
kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada
akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Menurut
Havighurs (1961:5), sekolah memunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam
membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini,
sekolah seyogyanya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi
yang dapat memfasilitasi siswa ( yang berusia remaja) untuk mencapai
perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja itu menyangkut aspek-aspek
kematangan dalam berinteraksi social, kematangan personal, kematangan dalam
mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Tugas
perkembangan agama pada masa remaja ini berkaitan dengan hakikat manusia
sebagai mahluk Tuhan, yang mempunyai tugas suci untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah ini misinya adalah untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan atau
kenyamanan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Perkembangan keimanan dan
ketakwaan ini merupakan tugas perkembangan yang penanamannya dimulai sejak usia
dini. Pada usia remaja, nilai-nilai keimanan dan ketakwaan harus sudah
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pencapaian tugas perkembangang
ini, pada setiap remaja tampaknya bersifat heterogen. Heterogenitas
perkembangan ini dipengaruhi oleh factor pengalaman keagamaan masing-masing,
terutama dilingkungan keluarganya.
Dalam
rangka membantu remaja (siswa) dalam mengokohkan atau memantapkan keimanan dan
ketakwaannya, maka sekolah seyogyanya melakukan upaya-upaya berikut :
1.
Pimpinan (kepala sekolah dan para
wakilnya), guru-guru, dan personel sekolah lainnya harus sama-sama mempunyai
terhadap program pendidikan agama atau penanaman nilai-nilai agama di sekolah,
baik melalui :
a)
Proses belajar-mengajar di kelas
b)
Bimbingan (pemaknaan hikma hidup
beragama/beribadah, pemberian dorongan, contoh/tauladn baik dalam bertutur
kata, berprilaku, berpakaian, maupun melaksankan ibadah)
c)
Pembisaan dalam mengamalkan nilai-nilai
agama.
2.
Guru agama seyoganya memiliki
kepribadian yang mantap (ahlakul karimah), pemahaman dan ketrampilan
professional, serta kemampuan dalam mengemas materi pembelajaran, sehingga mata
pelajaran agama menjadi menarik dan bermakana bagi remaja.
3.
Guru-guru menyisipkan nilai-nilai agama
ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya , sehingga siswa memiliki apresiasi
yang positif terhadap nilai-nilai agama.
4.
Sekolah menyediakan sarana ibadah
(mesjid) sebagai laboratorium rohaniah yang cukup memadai, serta
memfungsinkannya secara maksimal.
5.
Menyelenggarakan kegiatan
ekstrakurikuler kerohanian, pesantren kilat, ceramah-ceramah keagamaan, atau
diskusi keagamaan secara rutin.
6.
Bekerja sama dengan orangtua siswa dalam
membimbing keimanan dan ketakwaan siswa.
Ekstrakurikuler kerohanian adalah
salah satu upaya sekolah dalam mengembangkan nilai agama
Mengenai
peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa
penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan
serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya
dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang
tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki
dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun
kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Sekolah
mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian peserta
didik karena sebagian besar waktu mereka habis untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekolah. peran Sekolah Dalam Mengembangkan Tugas Perkembangan adalah
sebagai berikut :
1. Pencapaian
tugas perkembangan melalui kelompok teman sebaya
2. Mencapai
perkembangan kemandirian pribadi
3. Pengembangan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME
Dalam
kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah
mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap
apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah
sebagai berikut:
1. Dalam
mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti ceramah, tanya
jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh
mengikutinya.
2. Dalam
menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks
atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
3. Guru
hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual
(mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Guru
hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
5. Guru
hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal
materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
6. Guru
hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya
dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan,
bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik
evaluasi, dan psikologi belajar agama.
7. Pimpinan
sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh,
tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan
ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan
dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian
muslim/muslimat (menutup aurat).
8. Guru-guru
yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai
agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
9. Sekolah
hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya
secara optimal.
10. Sekolah
hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa
dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.
Hal Ini Berdasarkan Teori Perkembangan Peserta
Didik Pada Tugas Perkembangan Masa Remaja Menurut Havigrus :
-
Mencapai hubungan lebih matang dengan teman sebaya
-
Mencapai peran sosial wanita atau pria
-
Menerima keadaan fisik dan menggunkan secara efektif
-
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
-
Mencapai jaminan kemandirian ekonomi
-
Memilih dan mempersiapkan karir
-
Mempersipakan pernikahan dan hidup keluarga
-
Mengembangkan ketrampilan intelektual
-
Mencapai tingkah laku yang bertangung jawab secara sosial
-
Memperoleh seperangkat nilai dan norma dalam bertingkah laku
-
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama
dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, Cet. VII, 1983.
Drs. H. Abdul Aziz Ahyadi,
Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, Penerbit Sinar Baru, Bandung,
Cet. II, 1991.
Drs. Jalaluddin Rahmat Msc, Islam
Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. I, 1986.
Makalah-makalah Ibu Dra. Susilaningsih
MA (dosen Mata Kuliah Psikologi Agama di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi
Belajar Agama. Bandung:
Maestro.
Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi
Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia
Tim Pustaka Familia. (2006). Konsep
Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta:
Kanisius.
Singgih Gunarsa. (2008). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.
Ali,
Muhammad.2004.Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik.Jakarta : PT. Bumi
Aksara.
1)ainil : bagaimana keterkaitan nilai moral
dan agama. Kepribadian introvert.SYAHRI
2. fatmawati :
factor yang paling dominan dalam perkembangan moral.
ZAHERA :
3. ayu :
perkembangan emosi dengan perkembangan moral.
ANGGRA
4. nilda :
perbedaan pengaruh moral dan nilai.BEBI
5. Zahra : usaha
yang dilakukan agar teknologi tidak mempengaruhi hal buruk. IIK
6. ani ; 5-10
tahun hal.59
7. aulia :
factor yang menyebabkan keragua dalam beragama_upaya sekolah. ZULIA
8. marta :
bagaimana pengaruh remaja yang tinggal
pada lingkungan yang tidak kondusif. BEBI
9. Sufyanto:
moral nya tetap terjaga walaupun tinggal di lingkungan yang kondusif. ZULFIRA
10. upaya guru
dalam . VEMI
11. afrizan :
apakah boleh mempelajari agama yang lain/VIVIEN
tanks info dan refernsi@
BalasHapuswah semuga bermanfaat
BalasHapusTerima kasih buat bacaannya. Jika berkenan, silahkan berkunjung di blog saya www.efrialruliandi.blogspot.com
BalasHapusSalam kenal
Efrial Ruliandi Silalahi
BalasHapusLegendaQQ.Net
Pilihan Terbaik Untuk Permainan Kartu Sang LEGENDARIS !!!
Min Depo 20Rb !!!
Kartu Para Sang LEGENDA !!!
WinRate Tertinggi !!!
Kami Hadirkan 7 Permainan 100% FairPlay :
- Domino99
- BandarQ
- Poker
- AduQ
- Capsa Susun
- Bandar Poker
- Sakong Online
Fasilitas BANK yang di sediakan :
- BCA
- Mandiri
- BNI
- BRI
- Danamon
Tunggu apalagi Boss !!! langsung daftarkan diri anda di Legenda QQ
Ubah mimpi anda menjadi kenyataan bersama kami !!!
Dengan Minimal Deposit dan Raih WD sebesar" nya !!!
Contact Us :
+ live chat : legendapelangi.com
+ Skype : Legenda QQ
+ BBM : 2AE190C9
Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.
BalasHapusSangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu
EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.
Situs :EBOBET
WA : +855967598801