BAB I
PENDAHULUAN
Terdapat banyak alasan
untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan
rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu
pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas
konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat
penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus
globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi
inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang
jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan
praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Teori dan praktek
pendidikan memiliki spektrum yang sangat luas mencakup seluruh pemikiran dan
pengalaman tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan dapat
dipelajari secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan
dengan melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek
pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendidikan akan
memberikan manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan
tujuan yang akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktek
pendidikan karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai
sejauh mana keberhasilan pendidikan.
Teori pendidikan
yang berisikan konsep-konsep dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai
pendekatan, antara lain pendekatan filosofi yang akan melahirkan pemahaman
tentang filsafat pendidikan. Pendekatan
filosofis terhadap pendidikan merupakan suatu pendekatan untuk menelaah dan
memecahkan masalah pendidikan menggunakan metode filsafat. Pendidikan
membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut
pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman.
Sejarah filsafat menunjukkan bahwa tidak hanya
satu filsafat yang berkembang, melainkan banyak jenis aliran atau mazhab
filsafat. Dalam filsafat ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme,
materialisme, pragmatisme, eksistensialime, dan sebagainya. Dengan demikian,
pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh
berbagai aliran filsafat tersebut. Dalam mempelajari dan mengembangkan teori
pendidikan perlu dipahami aliran-aliran filsafat yang melandasinya.
Kiranya kegiatan pendidikan tidak sekedar
dipandang sebagai gejala sosial yang bersifat rasional semata akan tetapi ada
sesuatu yang mendasarinya. Peranan filsafat dalam mendasari teori ataupun
praktek pendidikan merupakan salah satu sumbangan berharga bagi pengembangan
pendidikan. Dengan memperhatikan uraian di atas, salah satu pertanyaan yang
muncul adalah: “Bagaimana aliran-aliran filsafat melandasi teori pendidikan?”
Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan mengkaji pemikiran tentang teori
pendidikan menurut aliran-aliran filsafat yang ada.
BAB
II
LANDASAN
FILOSOFIS PENDIDIKAN
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari ilmu filsafat
secara umum. Dalam mempelajari filsafat terdapat beberapa aliran pemikiran:
Idealism, Realism, Perennialism, Essensialism, Pragmatism, Progressivism dll.
Aliran Idealisme dan Realisme adalah dua aliran klasik dari barat yang masih
bertahan hinga kini. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari
filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat
pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran. Brubacher (1950) mengelompokkan
filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu:
1.
Filsafat
pendidikan “ Konservatif”
Didasari oleh filsafat idealisme,
realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme
religius.
2.
Filsafat
pendidikan “Progresif”
Di antaranya didukung oleh filsafat
pragmatisme dari John Dewey, dan romantic, naturalisme dari Roousseau,
Progressivisme, dan sebagainya.
Dalam keseharian saat mengajar maka praktisi pendidikan akan
menemui berbagai permasalahan. Bagaimana kita memandang dan menyelesaikan
permasalahan tersebut seringkali mencerminkan pandangan filosofi kita.
Peraturan dan prosedur yang digunakan sekolah untuk menyelesaikan masalah dalam
pendidikan seringkali juga mencerminkan filsafat yang mendasarinya. Dengan
mempelajari berbagai aliran filosofi ini kita dapat mengembangkan pandangan
kita dalam memandang permasalahan bidang pendidikan.
2.1
Landasan Filosofis
Dilihat dari pengertian
praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat
artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah
karya akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan ilmu atau pendekatan yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Menurut Immanuel Kant
(1724-1804) yang seringkali disebut sebagai raksasa pemikir Barat, filsafat
adalah ilmu pokok yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan.
Landasan filosofis bersumber dari
pandangan-pandanagan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap
hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan
tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal
sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme,
Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme
1. Esensialisme
Esensialisme
adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts)
atau bahan ajar esensial.
2. Perenialisme
Perensialisme
adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni
kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.
3. Pragmatisme dan
Progresifme
Prakmatisme
adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan
praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang
menentang pendidikan tradisional.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan
sebagai pelopor perubahan masyarakat.
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989
menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa
Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia,
pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
Landasan Filosofis
Pendidikan.
Ada aliran utama
filsafat di dunia sampai sekarang (Laboratorium Pancasila IKIP MALANG,
hal.14): Materialisme: mengajarkan bahwa hakikat realitas semesta,
termasuk mahluk hidup, manusia, hakikatnya ialah materi. Semua realitas itu
ditentukan oleh materi dan terikat oleh hukum alat: sebab akibat yang bersifat
obyektif. Idealisme/Spiritualisme: mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia
yang menentukan hidup dan pengertian manusia, subyek manusia sadar atas
realitas dirinya dan semesta, karena ada akal budi dan kesadaran rohani. Hakikat
diri adalah akal dan budi (ide, spirit). Realisme: mengajarkan bahwa materialisme
dan idealisme tidak sesuai dengan kenyataan: tidak realistis. Realitas
kesemestaan, terutama kehidupan bukan materi semata-mata. Realita adalah
perpaduan materi dan non materi (spiritual, ide, rohani); terutama pada manusia
nampak adanya gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi realisme merupakan
sintesis jasmani dan rohani, materi dan non materi.
2.2 Idealisme
Idealisme
berasal dari kata “ideal” dengan tambahan sufiks/akhiran “-isme” yang berasal
dari bahasa Yunani kuno -ισμός (-ismos) yang memiliki fungsi membentuk kata benda
abstrak terhadap suatu tindakan, keadaan, pemahaman/doktrin. Sedangkan kata
‘ideal’ sendiri memiliki arti suatu kondisi paling wajar yang dikehendaki atau
diinginkan. Contoh yang paling mudah dari sebuah idealisme biasaya digunakan
pada bidang politik, sosial, dan segala suatu hal yang bersifat pemikiran.
Idealisme menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki arti:
1.
Suatu aliran di ilmu filsafat yang menganggap
pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar, yang dapat
dirasakan dan dipahami .
2. Hidup
atau berusaha hidup menurut cita-cita (yaitu menurut suatu patokan atau pedoman
yang dianggap sempurna).
3.
Sas aliran yg mementingkan khayal atau
fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng
kenyataan.
Idealisme merupakan sistem filsafat yang telah dikembangkan
oleh para filsuf di Barat maupun di Timur. Di Timur, idealisme berasal dari
India Kuno, dan di Barat idealisme berasal dari Plato, yaitu filsuf Yunani yang
hidpu pada tahun 427-347 sebelum Masehi. Dalam pengertian filsafati, idealisme
adalah sistem filsafat yang menekankan pentingnya keunggulan pikiran (mind),
roh (soul) atau jiwa (spirit) dari pada hal-hal yang bersifat
kebendaan atau material. Pandangan-pandangan umum yang disepakati oleh para
filsuf idealisme, yaitu:
1. Jiwa (soul) manusia adalah
unsur yang paling penting dalam hidup.
2. Hakikat akhir alam semesta pada
dasarnya adalah nonmaterial.
Menurut paham Idealisme bahwa yang sesungguhnya nyata adalah
ruh, mental atau jiwa. Alam semesta ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak
ada manusia yang punya kecerdasan dan kesadaran atas keberadaannya. Materi
apapun ada karena diindra dan dipersepsikan oleh otak manusia. Waktu dan
sejarah baru ada karena adanya gambaran mental hasil pemikiran manusia. Dahulu,
sekarang atau nanti adalah gambaran mental manusia. Ludwig Noiré berpendapat
"The only space or place of the world is the soul," and "Time
must not be assumed to exist outside the soul”.
Keunikan manusia terletak dalam fakta bahwa manusia
memberikan makna- makna simbolik bagi tindakan-tindakan mereka. Manusia
menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang rinci dan menggunakan konstruk
mental ini dalam mengarahkan pola perilaku mereka. Berbagai karakteristik pola
perilaku yang berbeda- beda dalam masyarakat yang berbeda dilihat sebagai hasil
serangkaian gagasan dan cita- cita yang berbeda pula. Paham idealisme memandang
bahwa cita-cita (yang bersifat luhur) adalah sasaran yang harus dikejar dalam
tindakan manusia. Manusia menggunakan akalnya untuk bertindak dalam kehidupan
sehari-hari baik untuk dirinya dan masyarakat.
Para idealis menganggap esensi jiwa adalah kekal sedangkan
jasad adalah fana. Lebih lanjut penganut idealisme transendental menganggap
bahwa alam semesta atau makro kosmos ini tidak ada. Karena sesungguhnya yang
ada hanyalah Allah yang menciptakannya. Diri manusia atau mikro kosmos adalah
makhluk spiritual yang merupakan bagian dari substansi spiritual alam semesta.
Apa yang harus diketahui sesungguhnya sudah ada dalam jiwa.
Tugas pendidik adalah membuat pengetahuan yang tersimpan dalam hati ini menjadi
kesadaran. Para mendidik berusaha agar murid mencapai keadaan kesempurnaannya.
Untuk mencapai manusia sempurna ini seperangkat kurikulum disusun secara
terstruktur (bertingkat) dengan berdasarkan warisan pemikiran terbaik generasi
demi generasi. Paling tinggi tingkatannya adalah ilmu umum tentang filosofi dan
theologi. Kedua hal ini bersifat abstrak. Matematika menjadi alat yang sangat
berguna untuk memahami ilmu atau logika yang bersifat abstrak. Sejarah dan
literatur mempunyai posisi yang tinggi karena ia mewariskan nilai moral, model
budaya dan kepahlawanan maupun contoh kehidupan. Ilmu alam dan sain menjadi
prioritas berikutnya karena menyediakan penjelasan tentang hubungan sebab
akibat.
Di samping siswa memahami literatur, Idealisme menganggap
perlu terbentuknya manusia yang baik. Untuk itu siswa tidak hanya didorong
untuk mengembangkan skill dan akal pikiran, tetapi juga menanamkan nilai-nilai
kebaikan yg secara naluri sudah ada. Bagi idealist maka nilai-nilai
mencerminkan kebaikan yang terkandung pada alam semesta. Nilai-nilai ini
bersifat absolut, universal dan tidak berubah. Tindakan etis muncul dari
warisan budaya. Pendidik mengajarkan kepada murid-muridnya akan nilai- nilai
unggul dari mahakarya manusia yang bertahan dari masa ke masa.
Pertanyaan mendasar seperti: Apa itu pengetahuan? Jawabnya: Pengetahuan
adalah sesuatu yang menyangkut tentang prinsip-prinsip spiritual yang mendasari
realitas. Pengetahuan tentang realitas ini membentuk ide-ide atau gagasan.
Pendidikan adalah proses intelektual membawa gagasan atau ide kepada kesadaran
para pembelajar.
Pertanyaan tentang: Apakah itu sekolah? Jawabnya: Sekolah
adalah agen sosial di mana siswa berusaha mencari, mengungkap dan mendapatkan
kebenaran. Sekolah adalah institusi dimana guru dan murid mencari jawab atas
pertanyaan mendasar seperti: Apakah kebenaran itu? Apakah yang dinamakan
keindahan itu? Apakah kehidupan yang baik itu? Semua orang berhak mendapatkan
pegetahuan ini. Sehingga semua orang berhak sekolah. Meski demikian tidak
setiap orang mempunyai kemampuan intelektual yang sama. Murid yang cerdas perlu
mendapatkan tantangan yang lebih dari guru. Tujuan pembelajaran adalah memupuk
kreatifitas.
Bagaimana cara pembelajaran dilakukan? Methode yang paling
sesuai adalah metode dialog Socrates. Siswa dipancing dengan pertanyaan yang
dapat membangkitkan kesadaran. Aspek lain yang penting dalam padangan idealits
adalah pemberian contoh teladan. Guru harus mempunyai wawasan luas tentang
warisan budaya.
Dalam bidang masalah kualitas maka guru idealist menerapkan
standar nilai yang tinggi bagi siswa-siswanya. Dalam Plato’s Republic,
misalnya, standar nilai ini ditetapkan sedemikian tinggi sehingga hanya sedikit
siswa yang mampu mencapainya dan menjadi ‘raja filsafat’.
Guru menjadi agen penting dalam menolong siswa mengembangkan
potensinya semaksimal mungkin. Guru idealis menyajikan bahan belajar berupa
warisan budaya yang terbaik. Membuat siswa berperan dalam menyumbangkan karya
mereka untuk kebudayaan. Sejarah dilihat sebagai cara melihat bagaimana manusia
besar memberikan sumbangsih pada dunia. Guru akan menyajikan karya klasik
terbaik dibidang seni, literatur maupun musik untuk dipelajari dan dinikmati.
Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat
bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia,
sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep
filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara
absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan
secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi
kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa
dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih;
(3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi
dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai
oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar
manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme;
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari
pendapat tentang kenyataan atau metafisika
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme
memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum
idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki
pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus
mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus
menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan
pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme
mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak
sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat
pendidikan idealisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk
karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan
sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan
pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode
dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta
didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5)
Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja
sama dengan alam.
2.3 Realisme
Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa
pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran.
Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah:
(1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya
hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial
(dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan
(pluralisme);
(2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak
pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang
mempunyai kemampuan berpikir;
(3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan
sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan
dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan.
Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya
dengan fakta;
(4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia
diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang
lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah
teruji dalam kehidupan.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan
harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan
merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis
pendidikan yang sama. Pembawaan
dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan
proses pendidikan harus seragam.
Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di
mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang
paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus
beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada
pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah
bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta
didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan
pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan
pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa
hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan
strategi mengajar yang bermanfaat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat
pendidikan realisme adalah sebagai berikut:
(1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab
sosial;
(2) Kurikulum: komprehensif mencakup semua
pengetahuan yang berguna berisi pentahuan umum dan pengetahuan praktis;
(3) Metode: Belajar tergantung pada pengalaman
baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode
pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang digunakan;
(4) Peran peserta didik adalah menguasai
pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan
yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan
untuk memperoleh hasil yang baik;
(5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan,
terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta
didik.
2.4 Perenialisme
Perensialisme adalah aliran pendidikan
yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan,
cinta kepada kebaikan universal.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti
sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip
umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi
adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan
nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya.
Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa
pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1. Program pendidikan yang ideal harus
didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2. Perkemhangan budi merupakan titik
pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3. Pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)
Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta
kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
serta cinta kerjasama.
2.5 Esensialisme
Esensialisme adalah aliran pendidikan yang mengutamakan
pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial. Landasan dasar
esensialisme merupakan pandangan yang sifatnya sentralistik pada pendidikan dan
ranah kognitif. Hal ini kurang cocok di terapkan pada pendidikan kita karena
aliran ini menekankan pada guru (pendidik) untuk menyampaikan suatu ajaran-ajaran,
namun tidak di imbangi dengan respon-respon dari peserta didiknya. Contohnya,
seorang pendidik hanya memberikan suatu materi tanpa memperhatikan peserta
didik.
Penyelenggaraan SBI didasari oleh
filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Eksistensialisme
berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi
peserta didik seoptimal mungkin, melalui fasilitasi yang dilaksanakan lewat
proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan (kreatif, inovatif, dan eksperimentatif),
menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Jadi,
peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualisasikan
kemampuan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Para peserta didik itu
merupakan aset bangsa yang sangat berharga, dan merupakan salah satu faktor
daya saing yang kuat, yang secara potensial mampu merespon tantangan global.
Sementara filosofi esensialisme menekankan pada pendidikan yang harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, baik lokal, nasional, dan internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
Sementara filosofi esensialisme menekankan pada pendidikan yang harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, baik lokal, nasional, dan internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
Ketika mengimplementasikan kedua filosofi itu, empat pilar pendidikan yaitu; learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be, merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Maksudnya, pembelajaran tidak hanya memperkenalkan pengetahuan (learning to know), tetapi juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong penerapan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadi peserta didik yang percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be). Keempat pilar ini harus ada mulai dari kurikulum, guru, proses belajar-mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai pada penilaiannya.
Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi peserta didik agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan
universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan,
kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan;
1. Filsafat pendidikan progresivisme.
yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme;dan
3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme;dan
3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut
idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang
apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan
diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai
pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang
mengenai nilai tersehut. Menurut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya
stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut
idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan
dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada
nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang
masa.
2.6 Pragmatisme Dan Progresivisme
1. Pragmatisme
Menurut Kamus
Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan
penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang
mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme
lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Istilah
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “ Pragma” yang berarti perbuatan (
action) atau tindakan (practice). Isme sendiri berarti ajaran atau paham.
Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikran
itu menuruti tindakan.
Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat
secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang
penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada
individu-individu.
Dasar dari
pragmatisme adalah logika
pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata
merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia
ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi
realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan
merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.
Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik,
sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
1) kekuatan
Pragmatisme
Ø Kemunculan
pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di
Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu
pengetahuan maupun teknologi.Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat
dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis,
abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas
kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan nnati di
akhirat. Dengan demikan, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk
hanya sekedar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya riil, indriawi, dan
yang memanfaatnya bisa di nikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
Ø Pragmatisme
telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala
yang ada. Barangkali dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu
mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan
suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan
eksperimen-eksperimen sehingga munculllah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang
sosial dan ekonomi.
Ø Sesuai
dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan
yang mapan”. Suatu kepercyaan yang diterim apabila terbukti kebenarannya lewat
pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang
sakral dan mitos, Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompo pragmatisme
merupakan pendukung terciptanyademokratisasi, kebebasan manusia dan
gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2) Kelemahan Pragmatisme
2) Kelemahan Pragmatisme
Ø Karena
pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolute(kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabilaa terbukti secara
alamiah, dan percaya bahwa duna ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri,
secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang
transendental(bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada
perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemepuan akal dalam mencapai
kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
Ø Karena
yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka
pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha
secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka
dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
Ø Untuk
mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa
memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia
bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka
dalam struktur masyarakatnya manusipa hidup semakin egois individualis. Dari
sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Progresivisme adalah suatu gerakan
dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa
pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang.
Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang
muatan.
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya
manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan
asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme
kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul
pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan
mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan
memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses
pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam
usahanya untuk mengalami kemajuan atau progress.
Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti
perhatian progressivisme, maka, beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama
dari kebudayaan. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup,
kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asa eksperimen yang
merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Sedangkan dinamakan
environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi
pembinaan kepribadian.
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar
filsafat pragmatisme dimana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang
utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua
tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Di sini kita bisa menganggap bahwa filsafat progressivisme
merupakan The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah
kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap
perubahan, toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak
secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis. Untuk
mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang
bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki),
toleran dan open minded.
Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang
besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik
maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang
terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang
lain. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat
progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus
maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya
manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan
asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme
kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul
pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas
evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan
hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup
berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak.
2.7 Eksitensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana
yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat
relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang
menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam
filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan
keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan.
Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal
kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan
sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak
mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu
sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme
paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human
is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering
muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan
tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah
eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi
eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia,
maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu
lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi
seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan
sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang
unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat
sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya
dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau
kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur,
pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah,
apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
BAB
VIII
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan
dalam pembahasan sebelumnya diperoleh temuan sebagai sebagai berikut:
Teori pendidikan
yang berisikan konsep-konsep dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai
pendekatan, antara lain pendekatan filosofi yang akan melahirkan pemahaman
tentang filsafat pendidikan. Pendekatan
filosofis terhadap pendidikan merupakan suatu pendekatan untuk menelaah dan
memecahkan masalah pendidikan menggunakan metode filsafat. Pendidikan
membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut
pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman.
Kiranya kegiatan pendidikan tidak sekedar
dipandang sebagai gejala sosial yang bersifat rasional semata akan tetapi ada
sesuatu yang mendasarinya. Peranan filsafat dalam mendasari teori ataupun
praktek pendidikan merupakan salah satu sumbangan berharga bagi pengembangan
pendidikan.
2.
Saran-saran
Pendidikan dapat
dipelajari secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan
dengan melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek
pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendidikan akan memberikan
manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang
akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktek pendidikan
karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana
keberhasilan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwijoyo,
Harun, Dr. 2002. Sari Sejarah Filsafat
Barat 2. Jakarta: Kanisius.
Maksum,
Ali.2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa
Klasik Hingga Postmoderenisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ridwan,
M.Drs.Dkk. 2000. Kamus Ilmiah Populer
. Surabaya: Citra Pelajar Group.
Bakry,
Hasbullah. 1970. Sitematik Filsafat.
Yogyakarta: Widjaya.
Idris, H. Sahara dan Jamal, H
Lisman.1992.Pengantar Pendidikan.Jakarta
: Grasindo
Sumitro, Dkk. 2001. Pengantar Ilmu Pendidikan. IKIP
Yogyakarta
Sadullah, Uyah.2001. Pengantar Filsafat Pendidikan.Yogyakarta
: Alfabet.
Situs Web:
0 komentar:
Posting Komentar