Namaku
Vivien. Aku terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan berkecukupan. Semua
kebutuhanku terpenuhi. Aku merasa tumbuh menjadi seorang remaja yang sempurna.
Masa-masa remajaku di SMA benar-benar indah dan berkesan. Aku cantik, pintar,
gaul, punya banyak teman, berprestasi, aktif di organisasi, dan dikenal baik
oleh masyarakat di kampungku. Bagaimana tidak, aku adalah wakil ketua OSIS 1,
aku meraih juara umum 3 tahun berturut-turut, aku terpilih sebagai siswa
teladan di SMA-ku, aku terpilih sebagai anggota Paskibraka tingkat kabupaten
sebagai pembawa bendera, dan aku peraih beasiswa Chevron yang prestisius.
Keberhasilan
itu yang kucapai semasa SMA tidak terlepas dari peran kedua orangtuaku terutama
ibuku. Sejak dari SD, ibuku yang selalu menjadi “guru” di rumah. Dialah yang
selalu mengingatkan ku untuk belajar. Setiap ada pelajaran membuat pidato dan
puisi, tak pernah ibuku lepas tangan. Aku benar-benar tergantung pada ibuku.
Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulutnya, bisa menjadi sebuah pidato dan
puisi yang penuh makna. Disitulah semuanya berawal. Ibuku lah yang mengajarkan
kepercayaan diri padaku. Ibukulah yang mengajarkan cara berpidato yang semangat
dan penuh energy. Disaat teman-teman lain malu atau enggan berekspresi lebih,
maka aku tampil dengan pidato yang penuh ekspresi. Ibukulah yang mengajarkan
aku bagaimana menyelami bait demi bait puisi, sehingga mengantarkan aku pada
keberanian yang semakin besar dan kepercayaan diri yang semakin tinggi.
“Vivien
jangan mau jadi yang biasa-biasa aja. Harus yang luar biasa! Gak usah malu!
Pede aja lagi! Mamak yakin Vivien pasti bisa!” begitu ucap ibuku sewaktu aku
masih SMP dan akan tampil dalam pelajaran Bahasa Indonesia tentang puisi.
Alhasil, nilai tertinggi pun berada dalam genggaman tanganku.
Seiring
berjalannya waktu, ketika aku memasuki masa SMA, aku merasa benar-benar berada
di puncak. Aku merasa seperti orang nomor satu di SMA-ku. Tak ada satupun siswa
yang tidak mengenal namaku. Banyak teman cowokku yang tergila-gila padaku. Tapi
aku sudah kepalang sombong. Aku angkuh. Apalagi ketika cowok yang menurutku
paling ganteng di SMA-ku, menyatakan cintanya padaku. Namanya Febriyadi. Akupun
langsung menerimanya. Mata hatiku seolah tertutup oleh kegantengannya. Akupun
semakin menjadi-jadi, memandang sebelah mata semua cowok kecuali dia. Aku
selalu berusaha memberikan apa yang dia inginkan. Aku benar-benar takut
kehilangan dia, karena begitu banyaknya teman-temanku yang juga menyukainya.
Jika sudah begitu, aku kembali merasa menjadi orang paling beruntung sedunia,
dan aku takkan rela melepaskannya..
“Pacaran boleh saja, Mamak gak larang kok.
Tapi hati-hati. Mamak gak mau nilai Vivien turun gara-gara sibuk pacaran.
Vivien juara satu di kelas, malu kalau nilainya anjlok hanya karena pacaran.”
Begitu nasihat ibuku sewaktu aku bercerita ketika Febriyadi menyatakan cintanya
padaku.
“Iya
Mak, pokoknya kalau sampai nilai aku turun nol koma sekian-sekian, aku langsung
putusin Febri…” kataku sok yakin.
“Oke..satu
lagi, jaga diri baik-baik. Jadikan pacaran ini sebagai penyemangat untuk
belajar dan sekolah. Kalo bisa jangan sering-sering jalan berdua, cukup pulang
sekolah saja.” Kata ibuku.
“Lho,
kok gitu Mak? Emangnya kenapa kalo sering jalan berdua? Misalnya jjs
(jalan-jalan sore) gitu Mak.” Tanyaku.
“Emangnya
mau di bilang kayak suami istri? Kemana-mana selalu berdua. Ntar gak ada lagi
cowok yang mau sama Vivien, soalnya udah keseringan jalan sama cowok! Mau??”
canda ibuku.
“Hehehe..iya
juga ya mak!” jawabku.
Begitulah
hari-hariku. Bagiku, ibuku bukan hanya orangtuaku, tapi lebih menjadi sahabat
sejati yang selalu melindungi dan menyayangiku. Ketika hari ulang tahunku,
ibukulah yang menjadi “fotografer” yang memotret aku dan Febri dengan berbagai
macam pose. Ketika kami pulang sekolah, ibukulah yang membuatkan nasi goreng
untuk kami. Aku benar-benar bangga mempunyai ibu seperti ibuku. Bahkan
teman-temanku iri karna aku memiliki ibu yang pengertian.
***
Keesokan
harinya seperti biasa sepulang sekolah, aku diantar Febri. Ketika akan pergi
les, aku dijemput kembali olehnya. Ibuku hanya memperhatikan dan akupun tak
ambil pusing soal itu. Sorenya sepulang les, aku mendapat kabar temanku
mendapat musibah. Akhirnya aku pulang ke rumah dan kemudian pergi lagi dengan
Febri ke rumah temanku itu. Karena sore, banyak tetangga yang menghabiskan
waktu diluar rumah. Begitu pula ibuku. Awalnya aku tak merasakan apa-apa. Tapi
semuanya menjadi berubah tatkala aku pulang.
“Kemana
saja sih Vien, bolak-balik dengan Febri? Kayak gak ada waktu lain saja! Mamak
kesal banget lihat Vivien tadi itu jalan dengan Febri udah kayak suami-istri”
bentak ibuku.
“Lho,
Mamak kenapa sih, tadi kan aku udah bilang mau ke rumah Nani, soalnya Nani lagi
dapat musibah.” Jawabku.
“Tapi
gak perlu bolak-balik sama Febri kan? Bisa saja pergi dengan Dini atau Ema! Ngapain
juga dengan Febri terus. Pergi les dengan Febri, pulang les dengan Febri, ke
rumah temen dengan Febri, ke rumah guru dengan Febri juga! Mamak malu Vien tadi
sore banyak tetangga yang liatin Vivien dengan Febri. Mamak jadi gak enak,
nanti apa kata orang!” geram ibuku.
Aku
tak berani menjawab.
Ku
lemparkan tubuhku diatas kasur. Ku telpon Febri dan ku ceritakan semua nya
tentang perihal sore itu. Aku berharap Febri akan berpihak padaku, tapi
ternyata dia lebih memilih menjauhiku.
“Kalo
begitu mulai besok-besok Febri gak akan pernah lagi jemput dan antar Vivien,
biar Vivien gak kena marah lagi!” jawabnya ketus.
“Lho
kok gitu? Gak mau ah,ntar kita dikirain putus lagi!” kataku ketakutan.
“Daripada
Vivien kena marah terus, ya kan?”jawabnya ketus.
Rasanya
aku benar-benar terpukul. Keesokan harinya Febri benar-benar menjauhiku. Aku
marah, kesal , dan kecewa. Ku tumpahkan amarah dan kekesalanku di rumah. Aku
jadi uring-uringan. Kulihat Ibuku sedang menyuapkan makanan kepada adikku,
sementara ayahku sedang membaca Koran. Ibuku yang selalu tahu semua tentangku
pun curiga.
“Kenapa
Vien?!”tegur ibuku.
“Gak
ada.” Jawabku.
“Tadi
pulang sama siapa?” Tanya ibuku lagi.
“Sendiri.”
Jawabku.
“Kenapa
gak pulang sama Febri?”selidik ibuku.
“Febri
gak mau lagi jalan sama aku.”jawabku sambil menahan sesak airmata sedih.
“Vien,
mamak bilangin ya, mamak itu bukan melarang Vivien jalan dengan Febri. Tapi
harus tau batasannya dong! Jangan kemana-mana berdua terus.”kata ibuku.
“Tapi
kan jadinya Febri gak mau jalan lagi sama aku Mak, lagian Cuma sekali aja aku
jalan lebih lama dengan Febri masak gak boleh!”jawabku dengan nada tinggi.
Tanpa terasa, airmata mengalir deras di pipiku. Aku menangis sedih membayangkan
kehilangan Febri.
“Kalau
hanya karena Mamak bilang kayak gitu aja, terus Febri jauhin Vivien, itu
artinya Febri gak bener-bener sayang sama Vivien.” Sahut ibuku.
“Febri
itu sayang sama aku, dan aku juga sayang sama Febri. Sekarang Febri gak mau lagi jalan sama aku.”jawabku sambil
terisak-isak.
“Sudah-sudah….ada
apa ini sebenarnya?” Tanya ayahku yang dari awal memang tidak tahu tentang
masalah ini.
“Ini
pak, Vivien jalan sama Febri udah kayak suami-istri aja, berdua terus. Gak enak
kan sama tetangga.” Jawab ibuku.
“Mamak
itu gak ngerti!” bentakku pada ibuku. Entah setan apa yang tengah merasukiku
hingga aku berani menentang orangtuaku.
“Gak
ngertia apa mamak Vien, ha??” jawab ibuku dengan nada marah dan geram.
“Sudah-sudah….”
Kata ayahku mencoba meleraikan.
Aku
pun segera berlari ke kamar, kutumpahkan amarah dan kesalku dengan menangis
sejadi-jadinya. Aku tak bisa membayangkan jika aku harus putus dari Febri. Ku
lihat dinding kamarku. Entah mengapa seperti ada perasaan bersalah yang amat
mendalam. Hatiku merasa sakit. Perih sekali.
“Ya
Allah! Apa yang telah aku lakukan ya Allah?? Apa yang telah kau perbuat Vien??”
bisik hati kecilku.
Tiba-tiba
seluruh perasaan ku bergejolak dan memberontak. Aku menyesal. Aku benar-benar
menyesal. Batinku menyeruak. Kepalaku sakit seolah ribuan ton besi bergelayut
di kepalaku/
“Selama
ini sedari aku lahir ke dunia ini, Mamaklah yang membesarkan engkau Vien!
Mamaklah yang mengantarkan engkau bisa seberhasil ini. Mamaklah nadi dari
kehidupan engkau Vien, Mamaklah yang selalu ada di saat engkau bahagia dan
sedih. Engkau sombong Vien! Sombong! Mentang-mentang memiliki prestasi baik,
engkau ingin semuanya terpenuhi. Padahal semua itu demi kebaikan mu juga Vien! Sementara
Febri? Apa yang telah dia berikan untukmu Vien? Hanya jalan-jalan? Hanya untuk
secuil kebahagian dengan Febri, engkau rela menyakiti hati Mamak yang telah yang
memberikan seluruh kasih sayang, perhatian, perlindungan, dan pengertiannya?
Tega engkau Vivien….tega!!!!!” teriak batinku.
Aku
segera beranjak dari kasurku. Aku ragu, apakah aku meminta maaf apa tidak pada
ibuku. Namun segera ku mantapkan hatiku untuk meminta maaf padanya.
Kulangkahkan kakiku menuju tempat ayah, ibu dan adikku berada. Ku dekati ibuku
yang sedang berbaring meskipun dengan wajahku yang sembab.
“Apa
lagi?!!”kata ibuku ketus.
Aku
duduk disampingnya. Menatap matanya,
“Mak,
Vivien minta maaf ya Mak. Vivien tahu Vivien yang salah. Maafin Vivien ya Mak”
kataku perlahan.
Ibuku
menangis. Tangannya mengelus bahu ku. Aku merasa tenang sekali.
“Vien,
Vivien tahu tidak, Mamak itu sayang banget sama Vivien. Mamak sayang banget
Vien sama Vivien!” kata ibuku sambil terisak-isak.
“Asal
Vivien tahu, Vivien itu anak mamak yang paling mamak sayangi. Kalau Vivien
mati, mamak rasanya mau bunuh diri Vien..” ungkap ibuku.
Mendengar
kata-kata ibuku itu, aku menangis sejadi-jadinya.
“Mamak
itu melarang Vivien sering-sering jalan dengan Febri bukan karena Mamak benci,
tapi karena Mamak sayang sama Vivien. Semua orang di kampung ini kenal siapa
Vivien. Orang mengenal Vivien dengan pandangan yang baik. Orang taunya Vivien
berprestasi. Mamak gak mau nanti pandangan orang berubah jadi jelek ke Vivien.”lanjut
ibuku.
Aku
hanya bisa terisak-isak menangisi kebodohan yang telah aku lakukan. Sementara
ayah dan adikku hanya menyaksikan kejadian itu. Ibuku pun dengan berurai mata
melanjutkan kata-katanya.
“Cobalah
Vivien pikir, carilah Mamak seperti Mamak Vivien ini. Cari. Belum tentu
mamak-mamak lain mengizinkan anaknya pacaran. Vivien mau pacaran, mama izinkan.
Mamak juga pernah muda Vien, makanya Mamak tidak mau melarang Vivien pacaran,
tapi Mamak Cuma minta satu saja, jaga batasan-batasannya. Mana ada mamak
teman-teman Vivien itu yang mau jadi tukang foto anaknya dengan pacarnya? “
ucap ibuku.
“Iya
Mak, maafin Vivien. Vivien benar-benar menyesal Mak”jawabku sesenggukan.
“Ya
sudah-sudah….mamak juga minta maaf ya nak ya….sudah-sudah…jangan nangis lagi!”
ucap ibuku sambil memeluk erat tubuhku.
“Iya
Ma,” jawabku lirih.
***
Aku
benar-benar mendapat pelajaran yang luar-biasa berharga. Tak ada yang bisa
menandingi kasih sayang orangtua selain kasih sayang Allah. Aku bersyukur dan
bahagia memiliki orangtua berhati mulia seperti ibuku.
Ibu,
maafkan anakmu ini yg selalu menyusahkanmu ibu.
Ya
Allah berikanlah ibuku umur yang lebih lama lagi,
Agar
ada tauladan yang membimbingku lebih lama lagi.
Ya
Allah….berilah ibuku umur yang panjang, kesehatan yang cukup hingga aku bisa
membalas sedikit jerih payahnya…..
Walaupun
bagiku, aku tak akan bisa membalas seujung kuku pun apa yang pernah beliau
berikan padaku…..
AKU
TAK BUTUH HARI IBU!!!
Karena bagiku, setiap hari adalah hari ibu.
Setiap detik adalah detik ibu. detik di mana aku selalu mendoakanmu. Detik di
mana aku teringat segala perjuangmu, yang terekam dalam otak dan lubuk hatiku.
Wahai
ibu..kuucapkan : Selamat hari ibu, meski bagiku setiap hari adalah hari ibu.
Namun, izinkan aku menuliskan kata-kata cintaku padamu.
I LOVE U, MOM…!!!!!
Terima
kasih untuk ibu terbaik sepanjang masa
Aku
sayang Mama
Vivien
Anjadi Suwito
0 komentar:
Posting Komentar