TEORI BELAJAR MENURUT PARA AHLI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Pengantar
Sebagaimana yang
diungkapkan oleh E.Mulyasa (2007), bahwa tugas guru tidak hanya menyampaikan
informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas
memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik. Untuk mampu melakukan proses
pembelajaran ini si guru harus mampu menyiapkan proses pembelajarannya. Untuk
menjadi fasilitator yang baik guru harus berupaya dengan optimal
mempersiapkan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
anak didik, demi mencapai tujuan pembelajaran.
Proses
pembelajaran yang akan disiapkan oleh seorang guru hendaknya terlebih dahulu
harus memperhatikan teori-teori yang melandasinya, dan bagaimana implikasinya
dalam proses pembelajaran. Berikut ini kita akan membahas teori-teori belajar
dan implikasinya dalam proses pembelajaran. Diantaranya teori belajar Gagne,
teori belajar Oppul, dan teori belajar Bruner.
1.2
Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami teori belajar yang sesuai
dengan karakteristik pembelajaran kimia, yakni :
1. Teori belajar Ausubel
2. Teori belajar Eggen
3. Teori belajar Piaget
4. Teori belajar Vygotsky
5. Teori belajar Skinner
6. Teori belajar Thorndike
7. Teori belajar Bandura
8. Teori belajar Rogers
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori belajar menurut
Ausubel?
2. Bagaimana teori belajar menurut Eggen?
3. Bagaimana teori belajar menurut
Piaget?
4. Bagaimana teori belajar menurut Vygotsky?
5. Bagaimana teori belajar menurut
Skinner?
6. Bagaimana teori belajar menurut Thorndike?
7. Bagaimana teori belajar menurut
Bandura?
8. Bagaimana teori belajar menurut Rogers?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar Ausubel
Sebagai pelopor aliran kognitif, David
Ausable mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar
bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep
yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. (Ratna Willis
Dahar: 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan
belajar bermakna jika memenuhi prasayasat, yaitu:
1.
Materi yang akan dipelajari
melaksanakan belajar bermakna secara potensial
2.
Anak yang belajar bertujuan
melaksanakan belajar bermakna. Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial
tergantung dari materi itu memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang
relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
Berdasarkan pandangannya tentang
belajar bermakna, maka David Ausuble mengajukan 4 prinsip pembelajaran , yaitu:
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur
awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep
lama denan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Pemggunaan pengatur awal
tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi
pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali
pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan,
sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2. Diferensiasi progresif
Dalam
proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep.
Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru
yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3. Belajar superordinat
Belajar
superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan kearah
deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep
dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus
berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat
akan terjadi bila konsepkonsep yang lebih luas dan inklusif.
4. Penyesuaian Integratif
Pada
suatu sasat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih
nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang
sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif
itu, Ausable mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya
materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan
hiierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi
disajikan. Penangkapan (reception learning). Menurut Ausubel , siswa tidak
selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri sehigga
mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam
mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausable menggambarkan model
pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan.
Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran
ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai
informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori itu
terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.
Penyajian advance organizer
Advance
organizer merupakan pernyataan umum yang memeperkenalkan bagian-bagian utama
yang etrcakup dalam urutan pengajaran. Advance organizer berfungsi untuk menghubungkan gagasan yang
disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berda didalam pikiran
siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat
spesifik yang disajikan.
2.
Penyajian materi atau tugas belajar.
Dalam
tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru dengan menggunakan
metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada
siswa. Ausuble menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa,
dan juga pentingnya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan
struktur yang terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses
yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimana pembelajaran berlangsung setahap
demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik,
contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep
baru.
3.
Memperkuat organisasi kognitif.
Ausuble
menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang
telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan siswa
bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang
bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada
diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru
dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan
pengorganisasian materi pembelajaran sebagaimana yang dideskripsikan didalam
advance organizer samping itu juga memberikan pertanyaan kepada siswa dalam
rangka menjajaki keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.
Ausubel
(dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna
(meaningful) jika informasi yang akan
dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan
struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam Dahar ,1988 :142) juga
menyatakan bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa
syarat, yaitu :
1. Materi
yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
2. Anak
yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga
mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Dikatakan
lebih lanjut oleh Ausubel (Dahar ,1989 :141) ada tiga kebaikan dari belajar
bermakna yaitu :
(a) Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat,
(b) Informasi
yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip,
(c) Informasi
yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun
telah terjadi lupa.
Belajar bermakna (meaningfull learning) yang digagas David
P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami
dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya
sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah
ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan
(rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan
terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
yang lama.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.
Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang
telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan
ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system
pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada
tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas,
dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar
menurut Ausubel, yaitu:
A. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari
apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan
pengetahuan yang sudah ada.
B. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna
Yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh
siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
C. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna
Materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu
dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
D. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna
Yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara
logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang
baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki. Prasyarat
agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
a.
Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila
siswa memiliki strategi belajar bermakna,
b.
Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
c.
Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan
tahap perkembangan intelektual siswa.
2.2 Teori Belajar Eggen
Eggen dan Kauchak (1993: 319)
mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai
sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling -membantu
dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga
dinamakan “belajar teman sebaya.”. Kooperatif
adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan lainnya
dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara
satu dengan yang lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan
yang secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan
itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan
suatu gambaran sederhana apa yang tersirat tentang kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan
metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok yang memiliki kemampuan
heterogen. Pembelajaran kooperatif
dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu mencapai
tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan antara manusia.
Belajar secara kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif
konstruktivis dan teori belajar social.
Menurut Arends (1997: 111),
pembelajaran yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a.
Siswa
bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
b.
Kelompok
dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
c.
Jika
mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang
berbeda-beda
d.
Penghargaan
lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.
Secara umum, pembelajaran kooperatif
bertujuan untuk mencipatakan ikatan yang kuat antar siswa, membangun kecerdasan
sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa berinteraksi terhadap
lingkungannya dengan segala kemampuan dan potensi diri yang berkembang dengan
baik. Secara garis besar, tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi indikator
sebagai berikut:
a.
Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil
dengan baik apabila setiap anggota kelompok merasa sejajar dengan anggota yang
lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota yang lain
merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh masing-masing
anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua anggota
kelompok. Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.
b.
Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian
yang positif, selayaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling mendukung, memberi semangat dan
saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar. Aktivitas kognitif dan
dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk belajar mengenal
satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan
masalah, mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman
sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.
c. Pertanggungjawaban
individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran
kooperatif adalah agar masing-masing anggota menjadi lebih kuat pengetahuannya.
Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat melakukan yang lebih
baik sebagai individu. Untuk memastikan
bahwa masing-masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban
secara individu terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja.
Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika perbuatan masing-masing
individu dinilai dan hasilnya diberitahukan pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para
siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada
kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara
bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian
oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses
pembentukan kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa
keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk
dimiliki siswa dalam rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis
dan kemampuan membantu teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat
bahwa siswa-siswa mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika
disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara bersama-sama. Dalam
ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa, konselor di sekolah dapat
menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling melalui teknik sebagai
berikut:
1.
Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya
dibentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih kurang terdiri dari 4-5 orang.
Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok kecil itu
mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya permasalahan
belajar.
2.
Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial
dan kecerdasan emosional siswa meningkat dan menjadi lebih baik. Dalam hal ini
siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan.
3.
Organisasi murid dan kegiatan bersama
Kegiatan bersama merupakan teknik
bimbingan yang baik, karena dengan melakukan kegiatan bersama mendorong anak
saling membantu sehingga relasi sosial positif dapat dikembangkan dengan baik.
Organisasi siswa dapat membantu dalam proses pembentukan anak, baik secara pribadi
maupun secara sebagai anggota masyarakat.
4. Sosiodrama
Sosiodrama
adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada murid-murid
untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka
dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.
2.3 Teori Belajar Piaget
Jean Piaget
meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai
1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan
bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang
dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif.
Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi
serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Jean Piaget
menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan
dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan
respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini
berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki
struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.
Piaget memakai
istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah
pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan :
i.
Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan,
minum.
ii.
Scheme mental ; misalnya scheme of classification,
scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap,
pola tingkah laku yang dapat diamati.
Jika schemas /
skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan
anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium (equilibrium),
namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan
pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium)
yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh
karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang baru pertama
kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki
konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam
skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang
paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa.
Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan
sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang
menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh
berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda
ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya
yang hampir sama.
Perkembangan
skemata ini berlangsung terus -menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya.
Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat
intelegensi anak itu.
Menurut
Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek,
1)
Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas
2)
Isi ; disebut juga content, yaitu pola tingkah laku
spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3)
Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara
seseorang mencapai kemajuan intelektul.
Proses
terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1)
Asimilasi
Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus
baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau
kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
2)
Akomodasi
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam
skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons
individu terhadap stimuli lingkungan.
Dalam struktur
kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan
akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan
perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan
kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang
dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.
Dengan
penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi
karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium – disequilibrium.
Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai
tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.
Piaget
mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan
anak, yaitu :
a.
Kematangan
b.
Pengalaman fisik / lingkungan
c.
Transmisi social
d.
Equilibrium
Selanjutnya
Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu
secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan
studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.
Berdasarkan
hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif
dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
a.
Tahap Sensori Motor : 0 – 2 Tahun
b.
Tahap Pra Operasi : 2 – 7 Tahun
c.
Tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 Tahun
d.
Tahap Operasi Formal : 11 Keatas
Sebaran umur
pada seiap tahap ersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat
perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara
individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada
hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a. Tahap
Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang
berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota
tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman
itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila
ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk
mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal
perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang
bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari
dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun
mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke
dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan,
suara binatang, dll.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir
dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk
tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum
mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal
yang ditangkap dengan indranya.
b.
Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)
Tahap ini
adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi
yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif,
seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting),
(mairer, 1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak
berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia
melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda
pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum
memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang,
kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini
belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara
bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai
timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat
dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
c.
Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang
berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya
anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan
benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari
sudut pandang yang berbeda secara objek
Anak pada tahap
ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek
fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun,
tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami
kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis,
tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
d.
Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi
formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara kualitatif. Anak
pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan
lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau
peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah
mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan
generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan
operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami
konsep promosi.
2.4
Teori Belajar Vygotsky
Nama
lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota
Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berkuturunan
Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun.
Seseorang
yang belajar dipahami sebagai seseorang yang membentuk pengertian/pengetahuan
secara aktif dan terus-menerus. Inti
teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan
“eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi
sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of
proximal development” mereka. Zone of
proximal development adalah jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau teman sebaya yang lebih mampu.
Vygotsky
banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan
perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan
perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi
seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang
lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup
dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada
anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Aliran
psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu pada kontruktivisme karena
ia lebih menekankan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya,
perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri
secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif. Oleh
karenanya, konsep teori perkembangan kognitif Vygotsky berkutat pada tiga hal:
1.
Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic
Law of Development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh
dan berkembang melewati dua aturan, yaitu tataran sosial lingkungannya dan
tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2.
Zona Perkembangan Proksimal (Zone of
Proximal Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan
mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky
percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal
tanpa bantuan orang lain. Vygotsky membedakan antara actual
development dan potential
development pada anak. Actual
development ditentukan apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan
potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu,
memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
3.
Mediasi
Mediator
yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami
proses-proses sosial dan psikologis. Makanya, jika dikaji lebih mendalam teori
perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi, yaitu
metakognitif dan mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan
alat-alat semiotic yang
bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang mencakup self
planning, self monitoring, self checking, dan self
evaluation. Media ini berkembang dalam
komunikasi antar pribadi. Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat
kognitif untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu.
Sehingga media ini dapat berhubungan dengan konsep spontan (yang mungkin salah)
dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
Vygotsky
lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau
kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui
interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. Secara
singkat, teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan
budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak
mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan
perhatiannya pada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam
pembentukan pengetahuan.
Pengetahuan
terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak. Pengetahuan
tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi secara
jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah
pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas,
logis, dan sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah perkembangan dari
pengertian spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah.
2.5 Teori Belajar Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F.
Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditioning
Yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction
Yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Menurut
Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya
penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment).
Penguatan dan hukuman.
Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan
probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan
probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Menurut Skinner penguatan berarti
memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1.
Penguatan
positif
Penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding).
Bentuk-bentuk penguatan positif
adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol),
atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
2.
Penguatan negative
Penguatan berdasarkan prinsif
bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain:
menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan
perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Skinner menghasilkan suatu sistem
ringkas yang dapat diterapkan pada dinamika perubahan tingkah laku baik di
laboratorium maupun di dalam kelas. Belajar, yang digambarkan oleh makin
tingginya angka keseringan respons, diberikan sebagai fungsi urutan ketiga
unsure (SD)-(R)-(R Reinsf). Skinner menyebutkan praktek
khas menempatkan binatang percobaan dalam “kontigensi terminal”. Maksudnya,
binatang itu harus berusaha penuh resiko, berhasil atau gagal, dalam mencari
jalan lepas dari kurungan atau makanan. Bukannya demikian itu prosedur yang
mengena ialah membentuk tingkah-laku binatang itu melalui urutan
Sitimulus-respon-penguatan yang diatur secara seksama.
Skinner menggambarkan praktek
“tugas dan ujian” sebagai suatu contoh menempatkan pelajar yang manusia itu
dalam kontigensi terminal juga. Skinner menyarankan penerapan cara pemberian
penguatan komponen tingkah laku seperti menunjukkan perhatian pada stimulus dan
melakukan studi yang cocok terhadap tingkah laku. Hukuman harus dihindari
karena adanya hasil sampingan yang bersifat emosional dan tidak menjamin
timbulnya tingkah laku positif yang diinginkan. Analisa yang dilakukan Skinner
tersebut diatas meliputi peran penguat berkondisi dan alami, penguat positif
dan negative, dan penguat umum.
Dengan demikian beberapa prinsip
belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan
kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari
yang belajar.
c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan
aktivitas sendiri.
e. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan
hukuman. Namun ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
f.
Tingkah laku
yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya. Hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforce
g. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
2.6
Teori Belajar Thorndike
Edward Edward Lee Thorndike
(1874-1949), seorang pendidik dan psikolog berkebangsaan Amerika. Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah
suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang
tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang
memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia
dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan
binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang
tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak
di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial
and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi
dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak
mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya
stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya,
sehingga dapat digambarkan sebagai berikut: S R S1 R1 dst.
Dalam
percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan
tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar
tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk
beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru
dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan
makanan.
Dari
percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum
kesiapan (Law of Readiness)
Jika
suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka
pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi
cenderung diperkuat.
2. Hukum
latihan
Semakin
sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin
kuat.
3. Hukum
akibat
Hubungan
stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.
Thorndike berkeyakinan bahwa
prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada
manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa
diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa
yang diamati dan terjadi secara mekanis.
2.7
Teori Belajar Bandura
Albert
Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada 04 Desember
1925. Albert Bandura sangat terkenal
dengan teori pembelajaran social ( Social Learning Teory ) salah satu konsep
dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran,
pemahaman dan evaluasi. Ia seorang psikologi yang terkenal dengan teori belajar
social atau kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal
adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku
agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory)
yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta
factor
pelaku
memainkan peran
penting
dalam pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/ penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan,
factor social mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orangtuanya. Albert Bandura merupakan salah satu
perancang teori kognitif social. Menurut
Bandura
ketika
siswa belajar
mereka dapat merepresentasikan
atau mentrasformasi pengalaman mereka
secara kognitif. Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,
person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor
lingkungan mempengaruhi
perilaku, perilaku
mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak
punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Menurut
Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model
merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam
konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku
dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh
pada pola belajar social jenis ini. Contohnya, seseorang yang hidupnya dan
dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain
judi, atau sebaliknya menganggap bahwa judi itu adalah tidak baik.
Teori
belajar social menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana
dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari
pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan
salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada
dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui
pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya :
seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena
perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya
sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan
melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan
meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif
atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu
mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan
mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara
langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi
tiruan sebagai model.
Seperti
pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran social
berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar
daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip
pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang.
Akan tetapi, teori – teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks
social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa
pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat
tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut
atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.
Menurut
Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun
penyajian, contoh tingkah laku (modeling). Dalam hal ini orang tua dan guru
memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak
untuk menirukan tingkah laku membaca.
Albert
Bandura dan Richard Walters ( 1959, 1963 ) telah melakukan eksperimen pada anak
– anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati,
bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan
terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak
dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut “observationallearning” atau pembelajaran
melalui pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori
pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang
sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental
seseorang.
Ciri
– ciri teori Pemodelan Bandura
1.
Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
2.
Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai
dan lain – lain
3.
Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang
didemonstrasikan guru sebagai model.
4.
Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan
penguatan yang positif,
5.
Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan,
dengan tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan
yang positif.
Eksperimen Pemodelan Bandura :
1.
Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa
memukul, menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo. Hasil =
Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif
2.
Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa
bermesra dengan patung besar Bobo. Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang
agresif seperti kelompok A
Rumusan
:
“Tingkah
laku anak – anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil dari
penguatan.”
|
Hasil
Keseluruhan Eksperimen :
Kelompok
A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang dewasa. Kelompok B
tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif .
|
Faktor-faktor
yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1.
Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik
pengamat.
2.
Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode
pengkodean simbolik.
3.
Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan
meniru, keakuratan umpan balik.
4.
Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan
penghargaan terhadap diri sendiri.
2.8
Teori Belajar Rogers
Carl
Ransom Rogers (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8
Januari 1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.
Kognitif (kebermaknaan)
2.
Experiential (
pengalaman atau signifikansi)
Dalam
keseharian di sekolah alam sama sekali tidak ditemukan proses belajar dalam
artian “formal” dan konvensional. Dalam sekolah alam rasa keingintahuan anak
dapat tersalurkan. Apapun yang mereka inginkan dapat mereka temukan di sekolah
alam. Anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka tanpa
dihalangi oleh ruang kelas, pakaian, peraturan sekolah yang “mematikan” daya
kreativitas maupun guru yang terlalu mengatur sehingga mereka dapat menemukan
sesuatu yang penting dan berarti tentang mereka dan dunia yang mengelilinginya
dalam kegiatan belajar mereka. Siswa tidak hanya belajar dari teori-teori
belaka yang diberikan oleh guru, mereka justru memperoleh pengetahuan dari apa
yang mereka amati dan mereka perhatikan melalui proses belajar mereka.
Kemampuan
dasar yang ingin ditumbuhkan pada anak-anak di sekolah alam adalah kemampuan
membangun jiwa, keinginan melakukan observasi, membuat hipotesa, serta
kemampuan berfikir ilmiah. Belajar di alam terbuka secara naluriah akan
menimbulkan suasana fun, tanpa tekanan dan jauh dari kebosanan. Dengan demikian
akan tumbuh kesadaran pada anak-anak bahwa learning is fun, dan sekolah pun
menjadi identik dengan kegembiraan. Siswa belajar tidak hanya dengan mendengar
penjelasan guru, tetapi juga dengan melihat, menyentuh, merasakan dan mengikuti
keseluruhan proses dari setiap pembelajaran. Di sini anak juga diarahkan untuk
memahami potensi dasarnya sendiri. Setiap anak di hargai kelebihannya dan
dipahami kekurangannya. Mereka diarahkan untuk belajar secara aktif. Di mana
guru berperan sebagai fasilitator. Siswa belajar tidak untuk mengejar nilai,
tetapi untuk memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan anak
memiliki logika berpikir yang baik, mencermati alam lingkungannya menjadi media
belajarnya dengan metode action learning dan diskusi. Anak-anak ,tidak hanya
belajar di kelas, tetapi mereka belajar dari mana saja dan dari siapa saja.
Mereka tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar dari alam
sekelilingnya. Jika dikaji dengan Teori Belajar Rogers, dapat kita simpulkan
sebagai berikut :
1. Keinginan
untuk belajar
Keinginan ini dapat mudah dilihat dengan memperhatikan
keingintahuan yang sangat dan seorang anak ketika dia menjelajahi (mengeksplor)
lingkungannya. Keingintahuan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi
sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk pendidikan
humanistic. Anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka tanpa
dihalangi serta menemukan sesuatu yang penting dan berarti tentang mereka.
2. Belajar
secara signifikan
Belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan
terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Jika siswa belajar dengan baik dan cepat,
humanis menganggap ini adalah belajar secara signifikan. Belajr mempunyai
tujuan dan kenyataannya dimotivasi oleh kebutuhan untuk tahu.
3. Belajar
tanpa ancaman
Belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu
lingkungan yang bebas dari ancaman. Bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami
sakit hati karena kritik dan celaan.
4. Belajar atas
inisiatif sendiri
Belajar akan paling signifikan dan meresap ketika belajar itu atas
inisiatif nya sendiri dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran itu
sendiri. Belajar atas inisiatif sendiri melibatkan semua aspek seseorang, kognitif,
efektif. Siswa akan merasa dirinya lebih terlibat dalam belajar, lebih menyukai
prestasi dan paling penting lebih dimotivasi untuk belajar.
5. Belajar dan berubah
Belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses
belajar. Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan,
apa yang dibutuhkan seseorang adalah individu yang mampu belajar dalam
lingkungan yang mampu berubah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian tentang teori belajar
sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan
mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang
meliputi proses-proses kognitif belajar.
2.
komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku,
konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3.
hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin
dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4.
Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping
pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu
ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5.
Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan
yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan
“reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.
6.
Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky
mengandung banyak unsur psikologi pendidikan, khususnya pokok bahasan
pendidikan dan budaya. Jika dalam teori Vygotsky anak perlu berinteraksi dengan
budaya. Maka dalam filsafat pendidikan pun dapat kita temukan bahwa bahasa,
sebagai hasil budaya juga menjadi sangat sentral bagi berkembangnya kognitif.
Bahasa menjadi alat transfer ilmu. Beberapa konsep dalam psikologi pendidikan juga
selaras dengan teori pengembangan kognitif Vygotsky. Psikologi pendidikan telah
memberikan landasan filosofis bagi teori-teori pengembangan intelektual.
7. Teori
belajar operan kondisioning Skinner memberi banyak kontribusi untuk
praktik pengajaran. Konsekuensi penguatan dan hukuman adalah bagian dari
kehidupan dan murid. Jika dipakai secara efektif, pandangan teori ini akan
mendapat membantu para guru dalam pengelolaan kelas. Demikian pula
prinsip-prinsip dan hukum-hukum belajar yang tertuang dalam teori ini akan
membantu guru dalam menggunakan pendekatan pengajaran yang cocok untuk mencapai
hasil belajar dan perubahan tingkah laku yang positif bagi anak didik.
8. Kritik
terhadap teori pengkondisian operan Skinner adalah seluruh pendekatan itu
terlalu banyak menekankan pada control eksternal atas perilaku murid. Teori ini
berpandangan bahwa strategi yang lebih baik adalah membantu murid belajar
mengontrol perilaku mereka sendiri dan menjadi termotivasi secara internal.
Beberapa kritikus mengatakan bahwa bukan ganjaran dan hukuman yang akan
mengubah perilaku, namun keyakinan atau ekspektasi bahwa perbuatan tertentu
akan diberi ganjaran atau hukuman. atau dengan kata lain teori behaviorisme
tidak memberi cukup perhatian pada proses kognitif dalam proses belajar.
3.2 Saran
Guru sebagai agen pembelajaran sebaiknya dapat berperan memfasilitasi
siswa agar dapat belajar secara nyaman dan berhasil menguasai kompetensi yang
sudah ditentukan. Untuk itu guru
yang agen pembelajaran ini perlu merancang, agar proses pembelajaran berjalan
lancar, dan mencapai hasil optimal. Ada empat hal harus dipertimbangkan dalam menyusun rancangan pembelajaran, yakni: persiapan,
pelaksanaan, dan penilaian. Apabila ketiga hal ini sudah terlaksana, maka satu
tambahan yang harus dipertimbangkan agen pembelajaran adalah melakukan
refleksi.
DAFTAR PUSTAKA
B.F. Skinner and radical
behaviorism, Ali, Muh. 1978. Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung:
Sinar Baru.
Dahar,
R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen
Dikti. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan : Jakarta.
Dariyo, Agoes. 2003.
Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Ghafur, Abdul. 1980. Disain
Instruksional. Suatu Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Balajar
dan Mengajar. Solo:
TigaSerangkai.
Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner (2000), Teori-Teori
Holistik (Organismik-Fenomenologis), Dr. A. Supratiknya (ed.), Jogjakarta
:Kanisius .
Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan endekatanSistem. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hurlock,
Elizabeth B. (1980). Psikologi
Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Kandau, Johan W.1991. Psikologi Umum. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama.
Mukminan. 1997. Teori
Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta:
P3G IKIP.
Prasetya Irawan, dkk, 1997. Teori
belajar. Dirjen Dikti: Jakarta
Riyanti, B.P Dwi dan
Hendro Prabowo. 1998. Psikologi Umum. Jakarta: Universitas
Gunadarma Press.
Yusuf, Syamsu.
(2008). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Website :
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit
Kencana.
Sangat amat membantu
BalasHapusTerima kasih banyak
:)
waa terimakasih, sangat membantu:) ijin copas ya
BalasHapus